Pendidikan Islam Masa Daulah Bani Umayyah
Pendidikan Islam Masa Daulah Bani Umayyah
Pendidikan Islam adalah hal yang selalu menarik
untuk dikaji, baik menyangkut dengan tujuan, metode kurikulum dan lainya. Dalam
perjalanan sejarah pendidikan Islam telah melahirkan banyak khazanah yang penuh warna. Sejak masa Nabi
Muhammad saw pendidikan telah muncul dengan tujuan yang tidak hanya
berorientasi kepada kemajuan dunia tetapi menjadikan akhirat sebagai tujuan
akhir dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan Islam tidak hanya mencerdaskan
akal tetapi juga bertujuan melahirkan
manusia yang beradab.
Sejarah
Pendidikan Islam masa Daulah Bani Umayyah adalah sebuah periode yang menjembatani
dan menghubungkan periode Nabi Muhammad saw dan sahabat dengan masa keemasan
dalam Islam. Pada saat ini pendidikan Islam
belum menggeliat mengingat pemerintah pada saat itu memfokuskan diri untuk
mengembangkan wilayah kekuasaan Islam dari timur ke barat. Pendidikan pada saat
ini seakan tergusur ke pojok kehidupan dan terabaikan begitu saja. Namun berkat
para ulama maka pada masa ini tertanam semangat untuk untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan berbagai kajian. Dalam kajian selanjutnya masa Daulah Bani
Umayyah dinamakan periode awal pembinaan kemajuan dalam Islam.
Selain itu
wilayah kekuasaan Islam yang begitu luas menyebabkan umat Islam menemukan hal
yang baru yang dapat memperkaya khazanah kemajuan Islam. Salah satunya adalah
metode penggunaan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan agama di
samping berpegang kepada Al-Qur’an dan Hadits. Keberagaman pola penalaran ilmiah ini berujung pada lahirnya berbagai
corak dan model dalam kehidupan ilmiah umat Islam yang mengiringi kemajuan dan
kejayaan umat Islam.
A. Proses
Berdirinya Daulah Bani Umayyah
Daulah Bani Umayyah berkuasa setelah
masa khulafaur rasyidin berakhir. Daulah ini berkuasa selama 90 tahun, dari
tahun 661 sampai 750 M. Nama daulah ini dirujuk kepada Umayyah bin Abi Syams seorang
pemuka Suku Quraisy yang mempunyai pengaruh luas di kalangan masyarakat karena
mempunyai kekayaan melimpah. Walaupun wangsa ini baru masuk Islam pada saat
Fathul Makkah namun mereka mudah beradaptasi dengan masyarakat dan meraih
posisi penting dalam pemerintahan karena status sosial mereka tinggi. Posisi
mereka dalam pusaran kekuasaan semakin kuat di saat Utsman bin Affan ra (cicit
dari Umayyah) menjadi khalifah.[1]
Daulah ini dipimpin oleh 14 orang khalifah, yang terkenal adalah Muawiyah I
(661-680 M), Abdul Malik bin Marwan (685-705 M), Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M),
Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) dan Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M)[2].
Daulah Bani Umayyah didirikan oleh
Muawiyah bin Abu Sufyan. Sebelumnya ia
merupakan Gubernur yang berkuasa di Damaskus semasa khalifah Umar bin Khattab
ra dan Utsman bin Affan ra. Posisinya sebagai gubernur memudahkan untuk mendapat
pengaruh luas yang dijadikan sebagai batu loncatan meraih kekuasaan yang lebih
tinggi. Kekuasaan yang dibangun oleh Muawiyah penuh dengan trik dan intrik,
dimulai dengan menentang Khalifah Ali bin Abi Thalib ra yang tidak mau
menghukum para pemberontak yang terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman bin
Affan ra. Perseteruan ini mencapai klimak pada saat terjadi Perang Siffin.
Walaupun mengalami kekalahan dalam pertempuran, tetapi secara politik Muawiyah
berhasil menundukkan kekuasaan Ali bin Abi Thalib ra. Setelah Khalifah Ali bin
Abi Thalib ra terbunuh, Muawiyah semakin
mantap berada pada puncak kekuasaan. Hasan bin Ali yang dibaiat penduduk
Makkah-Madinah sebagai khalifah lebih memilih berdamai dengan Muawiyah untuk
menghentikan pertikaian dan fitnah yang telah berlangsung sejak Perang Jamal
yang berlanjut dengan Perang Siffin. Perdamaian ini yang selanjutnya dikenal
dengan ‘amul jamaah merupakan tahun
yang melegalisasikan kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah.[3]
Muawiyah adalah sosok pemimpin yang
mempunyai pikiran yang cerdas, cerdik, cendekia dan bijaksana. Ia ahli politik
dan mempunyai pengetahuan yang luas. Ia juga seorang yang ahli hikmah, fasih
lidahnya dan kata-katanya mempunyai makna. Ia mudah mempengaruhi setiap orang
dengan untaian bahasanya. Punya kepribadian yang pemaaf bagi siapa yang bisa
dimaafkan serta tegas terhadap pihak yang tidak bisa diajak bekerja sama.[4]
Muawiyah mengubah sistem
pemerintahan dari sistem khilafah menjadi sistem monarki absolut atau monarchildheriditi,
yang diadopsi dari sistem pemerintahan Persi yang sebelumnya berkuasa di aliran
Sungai Tigris-Eufrat dan Byzantium yang berkuasa di wilayah Anatolia. Penerapan
sistem ini dimulai dengan penobatan
Yazid sebagai putra mahkota. Kebijakan yang diambil menimbulkan reaksi
keras di tengah-tengah masyarakat karena sebelumnya sudah ada sebuah perjanjian dengan Hasan bin Ali
bahwa setelah Muawiyah meninggal, kedaulatan dikembalikan ke tangan rakyat. Ketika
Yazid bertahta Husein bin Ali berusaha mengajukan klarifikasi atas perjanjian
yang telah ada sebelumnya. Namun kedatangan disambut dengan ujung pedang di
Karbala. Ia dibunuh dan kepalanya dipenggal. Ketika peristiwa ini terjadi dunia
seakan berhenti, matahari mendekati seolah mendekati bumi dengan cahaya
menguning laksana kain, dan bintang-bintang seakan-akan bertabrakan satu sama
lain.[5]
Muawiyah memindahkan pusat
pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Hal ini
dilakukan karena grass root
yang mendukung kekuasaan nya kebanyakan berdomisili di wilayah Bulan Sabit Subur. Pemindahan pusat
pemerintahan Islam ke salah satu kota paling kuno, makmur dan rumit di Timur
Tengah menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap aspek-aspek sekuler negara
Islam. Pasukan Arab di Syria telah menjadi pasukan elit jauh sebelum Muawiyah
menjadi khalifah. Mereka sukses menaklukkan Kekaisaran Romawi Byzantium yang
berpusat di Anatolia. Di bawah kekuasaan khalifah baru status-kedudukan pasukan ini jauh semakin meningkat.[6]
Damaskus berkembang secara cepat setelah statusnya berubah dari ibu kota
provinsi menjadi ibu kota Negara.[7]
Sebelum
menyusun master plan dalam
mengembangkan wilayah kekuasaan Islam, hal pertama yang dilakukan oleh Muawiyah
adalah menciptakan stabilitas politik dalam negeri. Ia berusaha mengirimkan pasukan ke
garis terdepan dalam mengamankan wilayah kekuasaan, termasuk
mempersempit ruang gerak Abdullah bin Zubair yang berkuasa di Makkah-Madinah,
serta meredam gerakan pemberontakan golongan Syiah-Khawarij yang menjadikan
Kufah sebagai basis pergerakan.[8]
B. Kondisi Pendidikan Islam Masa Daulah Bani
Umayyah
Kondisi pendidikan masa Daulah Bani
Umayyah tidak jauh berbeda dengan kondisi pendidikan masa Khulafaurrasyidin. Para khalifah dari dinasti ini tidak memberikan
perhatian yang serius terhadap perkembangan pendidikan. Hampir tidak ditemukan
kebijakan pemerintah yang khusus mengatur isu-isu pendidikan. Sehingga dunia
pendidikan hanya milik ulama yang mengajar dengan cara halaqah (lingkaran).[9]
Dengan kata lain pendidikan pada masa dinasti ini berlangsung secara alami
tanpa sentuhan tangan pemerintah.[10]
Para penguasa Daulah Bani Umayyah umumnya tidak tertarik pada kemajuan
pendidikan yang merupakan komponen utama kemajuan peradaban.[11]
Oleh karena itu pendidikan masa ini mengalami kevakuman. Alasan lain mengapa
pendidikan atau perkembangan intelektual pada masa Daulah Bani Umayyah berjalan
sangat lambat adalah dekatnya mereka dengan zaman jahiliah, banyaknya perang
yang harus mereka hadapi, kondisi ekonomi yang tidak stabil. Encyclopedia
Americana menyebutkan bahwa selama
Daulah Bani Umayyah berkuasa
tidak ada kajian intelektual yang tinggi atau prestasi intelektual kecuali tata
bahasa, kajian bahasa, literatur mengenai bahasa melalui puisi.[12]
Walaupun tidak ada usaha nyata dari
penguasa dalam memajukan pendidikan, namun para pemikir pendidikan Islam
mencoba merumuskan dan mendeskripsikan sistem pendidikan pada masa daulah ini.
Hal ini penting karena masa ini menjadi satu jembatan yang menghubungkan
khazanah pendidikan masa Nabi Muhammad saw dan para sahabat dengan pendidikan
pada zaman keemasan Islam. Benih kemajuan pendidikan dan pohon pengetahuan yang
tumbuh dengan subur pada masa Daulah Bani Abbasiyah di Bagdad tentunya telah
berakar pada dinasti sebelumnya (Umayyah) dengan bahasa lain kita dapat
mengatakan bahwa Periode Daulah Bani Umayyah merupakan masa inkubasi
pengetahuan terhadap dinasti sesudahnya.[13] Pemikiran pendidikan pada
masa Daulah Bani Umayyah ditemukan dalam bentuk nasihat-nasihat khalifah kepada
pendidik anak mereka yang ditemukan dalam buku-buku sastra.[14]
1. Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan
Visi
pendidikan pada zaman Bani Umayyah secara eksplisit tidak kita jumpai. Namun
dari berbagai petunjuk bahwa visi pendidikan pada saat itu adalah unggul dalam
ilmu agama dan umum sejalan dengan kebutuhan masing-masing wilayah Islam.[15]
Adapun misinya adalah:
a. Menyelenggarakan
pendidikan agama dan umum secara seimbang
b. Melakukan penataan
kelembagaan dan aspek-aspek pendidikan Islam
c. Memberi pelayanan
pendidikan di seluruh wilayah kekuasaan Islam secara adil dan merata
d. Menjadikan pendidikan
sebagai penopang utama kemajuan wilayah islam
e. Memberdayakan masyarakat
agar dapat memecahkan masalahnya sesuai dengan kemampuan sendiri[16].
Sasaran pendidikan yang ada pada
saat itu adalah seluruh masyarakat yang berada di bawah kekuasaan Islam dengan
tujuan menghasilkan sumber daya manusia yang unggul secara seimbang dalam ilmu
agama dan ilmu umum serta mampu menerapkan untuk dunia Islam[17].
2.
Lembaga Pendidikan
Sangat sulit menemukan bahkan tidak
ada lembaga pendidikan resmi dengan pengelolaan yang sistemik pada masa Daulah
Bani Umayyah. Putra-putra khalifah umumnya dikirim ke badiah (pedalaman) Suriah
untuk mempelajari bahasa Arab murni dan mendalami puisi. Ke sanalah
Muawiyah mengirimkan Yazid penerusnya.[18] Namun kita bisa menemukan
lembaga pendidikan non formal pada masa daulah ini, antara lain:
a. Masjid.
Masjid
merupakan utama berlangsungnya proses belajar mengajar pada masa Daulah bani
Umayyah. Ulama-ulama menjadikan tempat suci ini untuk mengajarkan masyarakat
dengan sistem halaqah. Ilmu yang diajarkan masih seputar Al Qur’an, Hadits dan
Hukum Islam (Fiqh). Biasanya seorang ulama membuka halaqah di sudut masjid dan
jamaah shalat akan menjadi bagian terintegrasi dari halaqah itu. Proses belajar
mengajar di masjid biasanya dilakukan secara reguler. Dalam satu masjid
biasanya tidak hanya terdapat satu halaqah. Misalnya halaqah di Masjid Amr bin
Ash di Fusthat Mesir bisa mencapai 40 halaqah yang mendiskusikan berbagai
disiplin ilmu.[19]
b. Istana
Ruang khusus di istana menjadi
tempat berlangsungnya proses belajar mengajar yang khusus diperuntukkan untuk
anggota keluarga raja dan pembesar kerajaan. Mereka mengundang para pengajar ke
istana secara reguler untuk mengajarkan anak-anak mereka dengan berbagai macam
ilmu supaya mereka siap menjadi para pemimpin masa depan : ”Abdul malik membuka
majelis pendidikan di istana untuk anaknya, untuk menyiapkan anak nya menjadi
pribadi yang berpendidikan yang siap menjadi pemimpin masa depan[20]”
seorang (muaddib)-biasanya seorang
mantan budak dan beragama kristen merupakan figur penting di istana. Guru
diperintahkan oleh khalifah untuk mengajarkan penerus mereka berenang dan
membiasakan mereka untuk tidak banyak tidur. Pelajaran moral yang penting yang
harus diajarkan adalah menjauhkan diri dari senda gurau karena hal itu adalah
perangkap syetan yang akan mendatangkan murka Allah.[21]
Selain itu majelis pendidikan di
istana juga digunakan sebagai tempat mendengarkan syair, hikayat, cerita dan
lain di saat khalifah dan para punggawanya
melepaskan kepenatan. Mereka mengundang para penyair dan ahli hikayat
dengan bayaran yang tinggi sebagai bukti kecintaan mereka terhadap seni.
c. Kuttab-Maktab
Kuttab merupakan pusat pengajaran
paling tua di kalangan kaum muslimin. Ada yang mengatakan, dunia arab telah
mengetahuinya sebelum kedatangan Islam. Namun hal ini hanya dalam ruang yang
terbatas.[22]
Kata kuttab berasal dari kata kataba
yang artinya menulis. Kata Kuttab kemudian berarti institusi pendidikan yang mengajarkan menulis
dan membaca. Tidak ada literatur yang membahas secara konkret mengenai kuttab
pada masa Daulah Bani Umayyah.[23]
Namun berdasarkan arti katanya penulis yakin bahwa pada masa daulah ini sudah
ada kuttab atau sejenis walaupun tidak menerapkan proses pembelajaran secara
tertib dengan kurikulum seragam. Lembaga ini bisanya mengambil tempat di rumah
dengan beberapa peserta didik atau tempat lain yang dikelola secara terbatas.
Karena di jalan atas inisiatif seseorang maka materi, metode dan silabus satu
kuttab dengan kuttab lainya biasanya tidak sama. Namun secara umum kurikulum
pendidikan di kuttab menyangkut dua hal yaitu: pemahaman terhadap Al-Qur’an dan
dasar-dasar keimanan dan ibadah.[24] Sebenarnya Kuttab tidak hanya merupakan
institusi pendidikan bagi anak-anak, orang tua juga menjadikan tempat ini
sebagai lembaga pendidikan di mana seorang syaikh mengajarkan nilai-nilai
agama.[25]
3.
Pola Penalaran Ilmiah
Pada masa Daulah Bani Umayyah di bagian barat wilayah kekuasaan Islam telah
mencapai ujung barat Afrika bagian utara bahkan sebagian wilayah Eropa
sedangkan di bagian timur wilayah kekuasaan sudah mencapai wilayah India.
Kondisi ini menyebabkan umat islam bersentuhan dengan berbagai budaya, yang
menimbulkan pluralisme dalam masyarakat Islam, yang salah satunya adalah pola
penalaran ilmiah dalam mengkaji permasalahan agama. Maka muncullah dua aliran
pemikiran yaitu:
a. Ahlurra’yu
Ahlurra’yu adalah sekelompok ulama yang berani memutuskan suatu hukum
dengan menggunakan logika yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits.[26]
Aliran ini muncul karena dua faktor; pertama
tempat tinggal para ulama yang jauh dari Makkah dan Madinah sehingga jumlah hadits yang ditemukan sangat
sedikit. Kedua kondisi sebagian
masyarakat yang berakulturasi dengan budaya yang meninggikan akal sehingga
logika lebih berperan dalam menyelesaikan masalah. Golongan ini banyak terdapat
di wilayah Iraq karena daerah tersebut jauh dari komunitas ulama penghafal
hadits.[27]
Ulama ahlu ra'yu yang lahir pada masa ini dimotori oleh : Syuriah bin Harits, Al Qamah bin Qais,
Masruq Al Ajdal, Aswad bin Yazid, Ibrahim An Nakhai, Amr bin Syurahbil, Hammad
bin Abu Sulaiman dan Abu Hanifa. Dalam kajian selanjutnya Abu Hanifa merupakan
icon ulama ahlurra’yu karena termasuk
pendiri salah satu mazhab yang terkenal.
b. Ahlul hadits
Ahlul hadits adalah segolongan ulama yang menjadikan hadits sebagai dasar
dalam menetapkan hukum dan penalaran ilmiah lainya.[28] Golongan ini biasanya
tinggal di Makkah dan Madinah tempat
dimana para penghafal hadits tinggal. Tradisi hadits lebih di kedua kota ini
disebabkan oleh tingkat akulturasi[29] masyarakat lebih rendah
dibandingkan dengan wilayah yang didiami oleh ahlur ra’yu. Ulama yang termasuk ahlul hadits antara lain Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin hambal.
4.
Kurikulum - Materi
Pendidikan
Berbeda dengan kondisi sekarang di
mana kurikulum sudah ditata dan disusun dengan baik, maka kurikulum yang ada
pada masa Daulah Bani Umayyah hanyalah sejumlah materi yang diajarkan dalam
proses belajar mengajar. Secara umum materi yang diajarkan pada waktu itu
mencakup 3 hal yaitu :
a. Al Qur’an dan Ilmu Yang Berkaitan Dengan Al Qur’an
Pengajaran Al Qur’an merupakan tema umum yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan seorang mukmin. Pada masa Daulah Bani Umayyah
ilmu-ilmu Al Qur’an berkembang dengan pesat. Kemajuan yang dicapai antara lain
: proses nasionalisasi bahasa Arab dan
Penyusunan tanda baca Al Qur’an. Nasionalisasi Bahasa Arab dilakukan dengan
tujuan menertibkan dan menyeragamkan administrasi negara. Istilah badiah kemudian
muncul yang merupakan sebuah proses mengangkat kembali bahasa Arab dusun
(pedalaman) karena dianggap paling fasih dan paling sesuai dengan kaidah tata
bahasa Arab. Proses ini pula yang menyebabkan lahirnya qawaid bahasa Arab dan ilmu lainnya yang berkaitan dengan bahasa.[30]
Bahasa Arab kemudian muncul sejajar dengan
bahasa besar dari peradaban kuno lainnya.,
seperti bahasa Yunani dan Latin di barat dan bahasa Cina di timur. Bahasa Arab
kemudian menjadi salah satu bahasa internasional yang digunakan oleh para
ilmuan, pedagang, penjelajah dan orang biasa sebagai alat komunikasi.[31]
Sedangkan penataan bahasa Arab (bahasa Al Qur’an) bertujuan
memudahkan bangsa non Arab membaca dan memahami Al Qur’an. Penataan ini
dipelopori Abu Aswad Ad Duali dengan memberi titik sebagai tanda baca[32].
Ia menempatkan titik di atas sebagai tanda fathah,
titik di depan huruf sebagai tanda dhammah
dan titik di bawah sebagai tanda kasrah Tanda baca ini kemudian disempurnakan oleh
Nashr bin Ashim dan Yahya
bin Ya’mur[33].
Dalam perjalanan selanjutnya Al Farahidi
menyempurnakan tanda baca Al Qur’an dengan menempatkan waw kecil sebagai tanda dhammah.
huruf ya’ kecil sebagai tanda kasrah dan alif kecil sebagai tanda fathah.
Sedangkan tanwin ditandai dengan
mendoublekan tanda-tanda tersebut.
Selain penyempurnaan tanda baca penafsiran Al-Qur’an juga mulai
berkembang pada pada masa Daulah Bani Umayyah. Akan tetapi para ulama masih cenderung menggunakan metode ijmali, namun
lebih luas pembahasanya dibandingkan dengan para sahabat. Tetapi tetap tidak
bisa digolongkan ke dalam penafsiran model tahlili. Pada umumnya para mufassirin
belum memfokuskan penafsiran pada bidang tertentu.[34]
b. Hadits dan Ilmu Yang
Berkaitan Dengan Hadits
Pada
masa awalnya Nabi muhammad SAW melarang para sahabat untuk menulis hadits
karena dikhawatirkan hadits bisa bercampur dengan Al Quran. Akibat pesan ini maka pada awalnya tidak usaha untuk
mengumpulkan dan menyeleksi hadits-hadits yang dihafal oleh para sahabat.
Larangan ini merupakan hambatan psikologis bagi para ulama untuk melakukan
rencana tindak lanjut terhadap keberadaan hadits di kalangan mereka. Belakangan
karena kondisi masyarakat yang terus berkembang maka pengumpulan hadits
merupakan hal yang krusial untuk dilakukan. Salah satu penguasa Bani Umayyah
Umar bin Aziz menganjurkan kepada para ulama untuk memberi perhatian serius
terhadap hadits dengan cara mengumpulkan, menyeleksi dan membukukan. Salah satu
ulama yang memberi perhatian terhadap seruan ini adalah Muhammad Syihab Az
Zuhri.[35]
Walaupun hasil karya ini masih dalam kondisi yang sederhana namun dianggap
sebagai hal fenomenal sebagai jalan yang selanjutnya disempurnakan oleh Imam
Bukhari, Imam Muslim dan ulama lainya.
c. Fiqh dan Ilmu Yang Berkaitan
Dengan Fiqh
Pada
zaman ini kemajuan bidang fiqh ditandai dengan beberapa mazhab diantaranya
Mazhab Ja’fari, Mazhab Hanafi dan Mazhab Imam Malik. Selain berstatus sebagai
imam mazhab mereka juga termasuk guru yang mengajarkan muridnya diberbagai halaqah.
Kemunculan hukum islam pada masa Umayyah dinamakan dengan masa awal pembinaan
hukum Islam. Di masa inilah lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan
merumuskan garis-garis hukum fiqh Islam; muncul berbagai teori hukum Islam yang
masih digunakan sampai sekarang. Faktor yang mendorong orang menetapkan hukum
dan merumuskan garis-garis hukum adalah: Wilayah kekuasaan Islam yang sangat
luas; dari India, Tiongkok sampai ke Spanyol dengan berbagai macam adat
istiadat, dan kepentingan yang berbeda sehingga merumuskan hukum Islam
merupakan hal yang sangat penting. Pada saat itu telah ada karya-karya tulis
tentang hukum yang dapat digunakan sebagai landasan untuk membangun serta
mengembangkan ilmu fiqh. Telah lahir para ahli hukum yang mampu berijtihad untuk
memecahkan berbagai masalah hukum dalam masyarakat. Pada periode inilah muncul
para mujtahid yang sampai sekarang masih berpengaruh dan pendapatnya diikuti
oleh umat Islam di berbagai belahan dunia.
Kumpulan
hukum fiqh pada masa Daulah Bani Umayyah terdiri dari hukum Allah dan
Rasul-Nya, fatwa para sahabat dan hasil ijtihad mereka. Sumber hukum adalah
Al-Qur’an dan sunnah. Pada saat itu belum terlihat corak fiqh yang luas dan
dibukukan tetapi hanya berupa penyelesaian juz’iyyah terhadap beberapa masalah
yang terjadi dalam masyarakat. ketika agama Islam sudah menyentuh
wilayah-wilayah non Arab berbagai macam kasus hukum terjadi termasuk hal-hal
yang berkaitan dengan falsafah dan teori-teori. Kondisi ini menuntut para
mujtahid memperluas ruang ijtihadi serta mengeluarkan hukum bagi kebanyakan
peristiwa tersebut, dan membuka pintu-pintu untuk meneliti dan berpikir.[36]
5. Pendidik Dan Peserta Didik
Pada masa Daulah Bani Umayyah tidak
kita temukan dikotomi dalam dunia pendidikan. Sehingga istilah guru pada saat
itu ditujukan kepada seorang ulama yang mengajar muridnya di berbagai majelis
ilmu agama. Sedangkan murid adalah calon-calon ulama yang mewarisi ilmu dari
gurunya. Secara lebih spesifik pendidik pada masa Daulah Bani Umayyah adalah
para tabi'in[37]dan
peserta didik adalah golongan tabi’
tabi'in[38]. Para tabi'in umumnya tersebar di kota-kota
penting seperti Makkah, Madinah, Basrah, Kufah dan kota lainya. Pada umumnya
mereka menjadi narasumber di berbagai majelis ilmu agama. Tabi’ Tabiin (peserta didik) umumnya menghadiri halaqah atau
majelis ilmu yang dibimbing oleh ulama tabi’in.
Ada di antara mereka yang bersafar dari satu majelis ke majelis lain seperti
Imam Syafi'i yang berjalan dari
Palestina, Makkah, Madinah, Yaman, Baghdad dan Mesir.
Selain
itu terdapat peserta didik yang berasal dari keluarga istana mereka umumnya
belajar dibawah bimbingan guru privat yang khusus diundang ke istana. Guru
privat umumnya data secara reguler dan mendapat bayaran yang memadai. Ilmu yang
mereka ajarkan biasanya menyangkut life
skill dalam rangka mempersiapkan anak mereka (peserta didik) menjadi
penerus tahta kepemimpinan.[39]
C. Penutup
Dari apa yang
telah penulis sampaikan di atas maka ada beberapa hal yang dapat penulis
jadikan sebagai kesimpulan:
1. Pendidikan Islam yang
dijalankan dengan terstruktur dan tersistem belum terlihat pada masa Daulah Bani
Umayyah, yang ada hanya majelis-majelis yang dipakai para ulama untuk mengajar.
2. Lembaga Pendidikan Islam
yang terdapat masa Daulah Bani Umayyah hanya berbentuk Mesjid, kuttab dan
istana.
3. Masa Daulah Bani Umayyah
dinamakan dengan masa awal pembinaan intelektual dalam Islam yang akan
menjembatani masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dengan masa keemasan Islam
masa Daulah Bani Abbasiyah
4. Kemajuan berpikir pada masa daulah ini tidak lepas dari proses akulturasi budaya Islam dengan budaya lain.
[1]Siti Maryam dkk (ed) Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik
Hingga Modern, (Yogyakarta : LESFI, 2009), hal 68
[2]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hal 43
[3]Muhammad Musthafa Al-A'zhami, 65 Sekretaris Nabi, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2008), hal. 177.
[4]Hamka, Sejarah Umat Islam II, (Jakarta :Bulan
Bintang, 1981), hal. 78.
[5]Imam As Suyuthi, Tarikh Al Khulafa, Terj. Fachri. Tarikh Al Khulafah (Bandung :
Hikmah, 2010) hal 249
[6]David Nicolle, Historical Atlas Of The Islamic World,
Terj. Rosida, Jejak Sejarah Islam,
(Jakarta : Alita Aksara Media, 2012), hal 52.
[7]Ehsan Masood, Science And Islam A History, (United
Kingdom : Icon Books, 2009) hal 11
[8]M Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009) hal. 199
[9]Halaqah adalah kerumunan
para pendengar yang duduk memutar mengelilingi seorang guru disebuah masjid.
Istilah ini dipahami sebagai para sahabat yang hadir dalam pengajaran
Rasulullah saw. Kata halaqah juga sering dipahami sebagai sekumpulan penonton
yang sedang menyaksikan pertunjukan atau sedang mendengar pembawa cerita. Lihat
Mujieb, Ismail, dan Syafi’ah, Ensiklopedia
Tasawuf Imam Al-Ghazali, (Jakarta: Hikmah, 2009), hal. 130.
[10]Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam,
(Jakarta : Rajawali Pers, 2004), hal. 14
[11]Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik falsafah Peripatetik,
(Yogyakarta: EkiS, 2005), hal. 37
[12]Bernard S. Cayne, Encyclopedia Americana, (USA: Grolier
Incorporated, 1988), hal. 353e. Perubahan orientasi kebudayaan dari puisi ke
Al-Qur’an dan menjadikan teks patner, menjadi dominan dalam sejarah kebudayaan
Arab-Islam. Meskipun pada masa Daulah Bani Umayyah puisi berkembang kembali
sebagai akibat dari banyak faktor, yang paling penting adalah perpecahan yang menimbulkan pertentangan
sosial politik, namun puisi sama sekali tidak lagi menduduki kedudukan
utamanya, menggantikan kedudukan Al-Qur’an. Al-Qur’an dalam perspektif
kebudayaan dan peradaban tetap merupakan teks dominan, dan puisi tetap
menjalankan peranan marjinalnya sebagai penjelas dan penafsir, selain tentunya
menjalankan fungsi-fungsi yang lainya. Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritis Terhadap
Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, tt) hal. 175-176.
[13]Philip K. Hitti, History Of The Arabs From the Earliest to
the Present, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, History Of The Arabs (Jakarta : Serambi
Ilmu Semesta, 2006), hal. 300.
[14]Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, ....), hal. 122
[15]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta :
Kencana, 2011), hal. 131
[16]Abuddin Nata, Sejarah..., hal. 132
[17]Abuddin Nata, Sejarah..., hal. 132
[18]Philip K. Hitti, History Of The..., hal. 316
[19]Raghib As-Sirjani, Madza Qaddamal Muslimuna lil ‘Alam Ihamahu al-Muslimina fi al-Hadharah al-Insaniyah, Terj. Sonif, Masturi
Irham, dan Malik Supar, Sumbangan
Peradaban Islam Pada Dunia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), hal. 220.
[20]Khalil A. Totah, The Contribution of the Arabs to Education,
(New Jersey : Gorgias Press, 2002), hal. 14
[21]Philip K. Hitti, History Of The..., hal. 317
[22]Raghib As-Sirjani, Madza Qaddamal Muslimuna..., hal.
202-203.
[23]Yang penulis maksud
adalah tidak kita temukan sebuah lembaga pendidikan yang dikelola secara
teratur semisal Madrasah Nizamiyah, sebuah madrasah yang didirikan oleh Perdana
Menteri Nizamul Muluk salah seorang penguasa Abbasiyah dari Dinasti Seljuk
[24] Juan E. Campo, Encyclopedia Of Islam, (New York: Facts
On File, 2009), hal. 437.
[25]Hamed Amar, Growing Up In Egyptian Village, (Oxon:
Raoutledge, 1954), hal. 211.
[26]Al Hamid Jakfar Al-Qadri, Bijak Menyingkapi Perbedaan Pendapat:
Telaan Atas Pemikiran Al-Habib Umar bin Hafizh dalam Membina Ukhuwah dan
Membangun Dialog, (Jakarta: Mizan, 2012), hal. 18-19
[27]Said Aqil Siroj, Tasauf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan
Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi, (Bandung, Mizan, 2006), hal. 71.
[28]Al Hamid Jakfar Al-Qadri, Bijak Menyingkapi Perbedaan..., hal.
18.
[29]Akulturasi adalah proses
sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu bersentuhan
dengan budaya lain dan secara perlahan budaya tersebut diterima sebagai anutan.
[30]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak
Sejarah Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 62.
[31]David Nicolle, Historical Atlas Of..., hal. 58.
[32]Iskandar AG Soemabrata, Pesan-Pesan Numerik Alquran, (Jakarta :
Republika, 2006), hal. 2
[33]Nurcholish Madjid, Fatsoen Nurcholish Madjid, (Jakarta :
Republika, 2002), hal 146
[34]Nashiruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al Qur’an di Indonesia, (Tiga
Serangkai, 2) hal. 11.
[35]Hanafi Muhallawi, Amaakin Masyhuurah fi Hayyati Muhammad Saw,
Terj Abu Hayyie Al Kattani, dkk Tempat-Tempat
Bersejarah Dalam Kehidupan Rasulullah, (Jakarta : Gema Insani Press, 2005),
hal. 9
[36]Abd. Jalil Borham, Pengantar Perundangan Islam, (Kuala
Lumpur: Universiti Teknologi Malaysia, t.t.), hal. 10-11
[37]Tabiin
adalah segolongan ulama yang belajar dan menimba ilmu pada sahabat nabi,
sebagian mereka hidup pada masa pemerintahan Bani Umayyah, walaupun ada di
antara mereka yang merasakan atmosfer politik Daulah Bani Abbasiyah. Abu Hanifa
termasuk golongan ini karena pernah bertemu dengan Anas bin Malik salah
seorang sahabat.
[38]Tabi’ Tabiin adalah segolongan ulama yang belajar dan menuntut ilmu kepada
para Tabi’in, di antara ulama tabi’
tabiin adalah Imam Malik bin Anas, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal.
Mereka hidup dan berkarya (baca:
mengajar) pada periode pertama berdirinya Daulah Bani Abbasiyah
[39]Khalil A. Totah, The Contribution of..., hal. 14
Post a Comment for " Pendidikan Islam Masa Daulah Bani Umayyah"