Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Madrasah Al Muslim: Pembaharuan Pendidikan Islam di Bireuen I

 

Ketika Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap belajar di Langkat Sumatera Utara, ia memperhatikan sistem pendidikan yang diterapkan di madrasah. Ia membanding dengan sistem pendidikan dayah yang ada di Aceh. Melalui observasi dan kajian mendalam ia berkesimpulan bahwa sistem pendidikan Madrasah lebih baik dibandingkan dengan sistem pendidikan yang berlaku di dayah. Lulusan di madrasah mempunyai kemampuan yang hampir sama antara satu santri dengan lainya. Sedangkan di dayah sistem pendidikan yang diterapkan tidak mampu menciptakan output dengan kemampuan sama antara satu dengan lainnya. Walaupun terdapat sejumlah lulusan yang bisa diandalkan namun yang lainya tidak mempunyai kemampuan apa-apa.[1]  

Keinginan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap untuk mendirikan sebuah madrasah didiskusikan dengan berbagai elemen dan tokoh masyarakat Peusangan. Dalam sebuah rapat yang berlangsung pada tanggal 14 November 1929 di Matang Geulumpang Dua tokoh-tokoh masyarakat memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi bernama Al Muslim.[2] Organisasi ini bertujuan untuk mendirikan madrasah-madrasah di Peusangan. Untuk mewujudkan tujuan organisasi ini pengurus Al Muslim segera merancang lembaga pendidikan modern berbasis madrasah. Tepat pada tanggal 13 April 1930, dengan mengambil tempat di samping Mesjid Matang Geulumpang Dua berdirilah Madrasah Al Muslim Peusangan. Pengurus Al Muslim memilih Habib Mahmud sebagai kepala madrasah dan Teungku Haji Muhammad Ridwan sebagai guru.[3]

Pada awalnya proses belajar mengajar yang berlangsung di Madrasah Al Muslim dilaksanakan di ruang belajar darurat. Bertiang bambu, berlantai tanah dan beratap rumbia. Proses pembangunan ruang belajar yang representatif baru bisa diwujudkan setahun kemudian dengan mengambil lokasi bagian selatan kota Matang Geulumpang Dua. Selain mengusahakan pembangunan ruang belajar di kota Matang Geulumpang Dua, pengurus Al Muslim juga mengupayakan berdirinya cabang-cabang Madrasah Al Muslim di berbagai tempat di Matang Gelumpang Dua dan di sekitarnya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama Madrasah Al Muslim di Matang Geulumpang dua menjadi induk dari madrasah yang ada di Cot Meurak Bireuen, Balee Seutui, Jangka, Bugak, Cot Batee, Lueng Daneun, Krueng Baroe, dan Uteun Gathom.[4]

Selain aktif mengurus madrasah di landchaap Peusangan pengurus Al Muslim juga giat berdakwah ke seluruh pelosok Peusangan. Hampir setiap malam diadakan tabligh akbar dan rapat umum di desa-desa untuk memompa semangat kebangkitan dan kesadaran masyarakat. Semangat yang didengungkan tersebut bergema sampai keluar kota Matang Gelumpang Dua. Hal ini memotivasi sebagian masyarakat di Aceh untuk mendaftarkan anak mereka sebagai siswa Madrasah Al Muslim. Para pelajar tersebut tidak hanya datang dari kabupaten yang berhadapan dengan selat Malaka tetapi juga dari Aceh Tengah, Aceh Barat dan Aceh Selatan.[5]  

Madrasah Al Muslim mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tidak hanya di Peusangan sebagaimana telah disebutkan di atas, tetapi juga menyebar ke seluruh Aceh. Madrasah Al Muslim juga didirikan di Aceh Selatan dan Aceh Barat oleh alumni Madrasah Al Muslim Peusangan. Tidak diketahui secara pasti apakah madrasah tersebut  berdiri sendiri atau merupakan cabang dari Peusangan. Hal ini ikut membantu melahirkan intelektual –intelektual muslim di seluruh Aceh.[6]

Kondisi politik yang tidak menentu pada masa pemerintahan Jepang menyeret pengurus Al Muslim untuk terjun langsung ke kancah politik. Hal ini berimbas pada aktivitas organisasi Al Muslim, khususnya proses belajar mengajar di Madrasah Al Muslim. Tenaga pengajar harus meninggalkan madrasah karena bergabung dengan barisan penjaga keamanan yang dibentuk oleh Jepang. Para pengurus organisasi juga ikut bekerja di kantor yang dibentuk oleh Jepang. Keterlibatan para pengurus Al Muslim dalam kancah politik menimbulkan konflik dengan ulee balang, karena pada dasarnya ulee balang lebih cenderung bila Belanda berkuasa di Aceh, bukan Jepang. Ulee balang berusaha menciptakan perselisihan dengan mengangkat isu agama yang seharusnya merupakan ranah para ulama bukan umara. Gedung Al Muslim hampir dibakar oleh Jepang karena dituduh tidak mau menghormati pemerintahan Jepang, padahal itu hanya fitnah untuk menghancurkan organisasi Al Muslim.[7]   

Walaupun organisasi didirikan atas inisiatif Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap namun kebijakan yang diambil selalu berdasarkan hasil musyawarah para pengurus. Perselisihan sesama pengurus selalu dapat dihindari walaupun mereka berasal dari latar belakang sosial berbeda. Untuk  masalah keagamaan mereka selalu berprinsip:

  1. Mengembalikan ajaran Islam pada sumber asli yaitu Al Qur’an dan hadits.
  2. Berusaha menghapus khurafat dan kepercayaan animisme yang dapat merusak keimanan umat Islam.
  3. Kitab-kitab Imam Syafi'i selalu dipelajari untuk menjadi pengetahuan dasar kepada siapa saja yang ingin memperdalam ilmu agama yang nantinya berguna untuk kepentingan masyarakat.
  4. Untuk menggapai tujuan yang telah dicita-citakan maka setiap saat selalu diadakan tabligh akbar serta rapat-rapat terbuka di setiap tempat.[8]  

Sebagaimana telah tersebut bahwa tujuan pembentukan organisasi Al Muslim adalah mendirikan madrasah untuk mereformasi sistem pendidikan. Tujuan ini dapat terwujud dengan berdirinya Madrasah Al Muslim pada tahun 1930. Namun Pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan oleh Organisasi Al Muslim tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh MAOC India. Kedua organisasi tersebut bergerak pada level berbeda antara satu sama lain. MAOC bergerak dan memberi pengaruh kuat di wilayah utara anak benua India. Sedangkan Organisasi Al Muslim hanya bergerak pada dataran sebuah landschaap, yang hanya memberi pengaruh untuk wilayah Aceh, bahkan apa yang dilakukan Al Muslim belum sebanding dengan apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah.     

Namun apabila kita mengkaji lebih jauh maka apa yang dilakukan oleh organisasi Al Muslim pada prinsipnya sama dengan apa yang telah dilakukan baik oleh tokoh maupun organisasi pembaharuan pendidikan di dunia Islam. Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap melalui organisasi Al Muslim telah mengikuti jejak Muhammad Abduh dalam mereformasi kurikulumnya. Bedanya Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap memulai dari awal dengan mendirikan lembaga sedangkan Abduh hanya menginjeksi model kurikulum baru ke tubuh  Universitas Al Azhar dan lembaga pendidikan lain.[9]

Dilihat dari aspek institusi pendidikan maka apa yang dilakukan Al Muslim hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh MAOC. Kedua lembaga ini berhasil mendirikan lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bedanya MAOC lahir di bawah payung penjajahan kolonialisasi Inggris sehingga model lembaga pendidikan banyak mengadopsi model pendidikan Inggris. Sedangkan Al Muslim secara tidak langsung lebih banyak dipengaruhi oleh dunia Arab. Selain itu dilihat dari kondisi politik organisasi ini juga mempunyai kesamaan di mana lahir dari rahim masyarakat yang sedang dipecundangi oleh penjajah. Dilihat dari kelangsungan lembaga pendidikan maka baik MAOC maupun Al Muslim memiliki kesamaan. Baik MAOC maupun Al Muslim sampai saat ini masih bisa bertahan menghiasi percaturan dunia pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Bedanya MAOC berhasil memetamorfosis lembaga pendidikan yang mereka bangun menjadi sebuah universitas nan megah dalam waktu singkat dan secara permanen didanai oleh pemerintah, sedangkan Al Muslim sempat hilang dari radar pendidikan sebelum akhirnya merubah wujud menjadi sebuah perguruan tinggi dengan pendanaan mandiri.[10]

Bila diteliti lebih jauh maka reformasi pendidikan yang dilakukan oleh Al Muslim menyentuh dua hal. yaitu: lembaga dan sistem pendidikan. Kedua hal ini berjalan seiring, artinya reformasi sistem pendidikan mulai dilaksanakan pada saat lembaga pendidikan didirikan. Lembaga pendidikan merupakan suatu institusi, media, forum, atau situasi dan kondisi tertentu yang memungkinkan terselenggaranya proses pembelajaran, baik secara terstruktur maupun secara tradisi yang telah diciptakan sebelumnya. Secara garis besar lembaga pendidikan dibagi menjadi dua; yaitu lembaga pendidikan formal dan lembaga pendidikan non formal.[11]

Sebelum tahun 1920 an pendidikan Islam di Aceh hanya berpusat pada dua lembaga yaitu: meunasah dan dayah, yang dijalankan dengan statis dengan tanpa manajemen organisasi yang jelas. Keberadaan kedua lembaga pendidikan ini menjadi perhatian organisasi Al Muslim. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya dayah harus diubah menjadi sebuah lembaga pendidikan yang lebih modern, yang mampu menjawab tantangan zaman. Untuk tujuan tersebut organisasi Al Muslim mendirikan Madrasah Al Muslim yang dikelola secara profesional oleh sebuah struktur organisasi madrasah dengan pembagian tugas yang jelas. Hal ini tentunya berbeda dengan dayah yang pengelolaan lembaganya terpusat pada seorang teungku. Kehadiran lembaga pendidikan model baru dengan tata kelola yang berbeda dengan dayah disambut pro dan kontra oleh masyarakat Matang Geulumpang Dua, namun karena sebagian besar tokoh pendiri Al Muslim merupakan alumni dayah maka akhirnya kehadiranya  bisa diterima setelah proses pendekatan dan sosialisasi.

 



[1]A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 80. 

[2]Organisasi Al Muslim diketuai oleh Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, dibantu oleh Teungku Haji M. Amin Bugak sebagai wakil ketua, Engku Nurdin sebagai sekretaris, Husen Samalanga sebagai bendahara dan T.H. Muhammad Ali, Teungku Abdul Razak Jangka,Teuku Chiek Hamzah sebagai komisaris. Lihat Muhammad Ilyas Dawood, Almuslim Peusangan at a Glance (tidak terbit), hal. 1.

[3]Ismuha, “Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah” dalam Taufiq Abdullah, ed., Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hal. 27.

[4]Badruzzaman Ismail, “Peranan dan Lembaga-Lembaga Pendidikan Agama di Aceh,” dalam Badruzzaman Ismail, dkk, ed., Perkembangan Pendidikan Di Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 1995), hal. 160

[5]A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid...hal. 83.

[6]Badruzzaman Ismail, Badruzzaman Ismail, “Peranan dan Lembaga-Lembaga Pendidikan Agama di Aceh,” dalam Badruzzaman Ismail, dkk, ed., Perkembangan Pendidikan Di Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 1995), hal. 161.

[7]Mahyiddin Yusuf, “Riwayat Singkat Al Muslim”,  dalam Badruzzaman Ismail, dkk, ed., Perkembangan Pendidikan Di Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 1995), hal.126-129. Jepang pernah membakar fasilitas penunjang pembelajaran berupa lemari yang berisi kitab dan buku. Lihat Yusri Daud, Teungku Abdurrahman Meunasah..., hal. 191.

[8]Mahyiddin Yusuf, “Pendidikan Agama di Aceh Dalam Pembangunan”,  dalam Badruzzaman Ismail, dkk, ed., Perkembangan Pendidikan Di Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 1995), hal.148

[9]Ali Rahmena, Pioneers of Islamic Revival (London: Zed Books, 1994), hal. 52.

[10]N. Jayapalan, Social and Cultural History of India Since 1556 (New Delhi: Atlantic Publisher, 2000), hal. 133. 

[11]Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat (Yogyakarta: LkiS, 2009), hal. 121 dan 122.

Post a Comment for "Madrasah Al Muslim: Pembaharuan Pendidikan Islam di Bireuen I"