Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pembaharuan Islam

 Latar Belakang

Pembaharuan timbul apabila sesuatu yang ada sudah tidak mampu lagi bertahan guna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dan tidak mampu lagi menjawab aneka ragam manfaat dan kepentingan. Kesadaran terhadap perlunya pembaharuan biasanya terdapat pada kalangan yang telah melihat dunia luar dan melakukan studi perbandingan kemudian menyadari posisi dirinya. Bagi yang tidak melihat perkembangan dunia dan berpandangan sempit maka hal yang baru merupakan sesuatu yang tabu dan aneh serta merupakan sesuatu yang perlu ditakuti, karena mereka merasa hal baru tersebut merusak tatanan yang mereka anggap sudah mapan. Masyarakat pada umumnya adalah abdi adat, karena itu sangat sukar menerima perubahan[1]

Kondisi ini pernah dialami oleh umat Islam di Mesir, Turki dan wilayah-wilayah lainya. Sebagai contoh Turki pernah mengalami kekalahan beruntun  dalam perang menghadapi bangsa Eropa.  Kondisi ini menyebabkan penguasa Turki melakukan evaluasi menyeluruh untuk menemukan penyebab kekalahan mereka. Ternyata kekalahan yang dialami disebabkan oleh teknologi persenjataan dan strategi perang yang mereka miliki sudah sudah jauh tertinggal. Termotivasi dengan kondisi ini para penguasa Turki berusaha melakukan perombakan terhadap sistem pendidikan mereka khususnya dalam lapangan militer. Mereka mengambil kebijakan dengan membubarkan tentara lama dan dengan tentara baru yang mendapat pelatihan dengan sistem pendidikan Eropa.[2]

Hal yang sama juga dialami oleh negara negara Islam lainnya. Pemikiran yang jumud (beku), taqlid dan tabu pada awalnya merupakan penyakit kronis yang sulit untuk diobati. Mereka menganggap bahwa mengembangkan intelektualisme adalah yang “haram” untuk dilakukan. Bahkan pertentangan antara ulama tradisional dan ulama cendikiawan dianggap sebagai “perang” antara agama  dan akal. Namun dalam perjalanan selanjutnya seiring dengan gencarnya kampanye bahwa intelektualitas merupakan sebuah keharusan, maka isu pembaharuan tidak lagi dianggap tabu dalam masyarakat.    

Pengertian Pembaharuan

Istilah Pembaharuan mempunyai korelasi yang sangat erat dengan kata modernisasi, tajdid[3], puritan[4], kebangkitan dan reformasi. Istilah-istilah tersebut pada prinsipnya mempunyai arti yang sama yaitu : “perubahan”, walaupun dalam perjalanan selanjutnya istilah-istilah di atas dipahami dengan makna yang berbeda. Perbedaan penggunaan istilah ini bukanlah masalah mendasar untuk dibahas, karena hanya berbeda sudut pandang saja dan kecenderungan dikalangan para pemikir Islam

Pembaharuan pemikiran dalam Islam pada umumnya dibedakan dalam dua istilah saja yaitu “reformasi” (reform) dan “modernisasi” (modernization).[5] Pembaharuan dalam pengertian pertama diartikan dengan kembali kepada yang asli,  dalam bentuk  proses mengkaji, menghayati dan mengamalkan Quran dan Sunnah dengan memurnikan keyakinan tauhid, melepaskan diri dari taklid buta dan membuka pintu ijtihad kembali. Pembaharuan dalam artian ini bukan berarti mengadakan perubahan terhadap isi ajaran islam, tetapi mengembalikan pemahaman pemeluk agama terhadap isi dan jiwa yang terkandung di dalamnya agar karena pengamalan ajaran Islam selama ini dianggap menyimpang. Sedangkan pembaharuan  dalam kontek yang kedua bukanlah suatu penggalian kembali atau pemahaman baru terhadap sumber utama ajaran Islam, tetapi suatu perubahan yang bersifat kulit atau permukaan. Misalnya perubahan yang bersifat sosio-kultural, edukasi, politik dan ekonomi.[6] Bila kita melihat lebih jauh maka kita konsep pertama dipandang sebagai sebagai permulaan sekaligus inspirator lahirnya pembaharuan pemikiran dalam Islam[7] 

Pemikiran yang pertama lebih cenderung menghendaki perbaikan di dunia Islam tanpa mengakomodasi budaya barat, bahkan dalam kondisi tertentu menolak karena bertentangan dengan prinsip Islam. Pemikiran yang kedua lebih cenderung mengadopsi dengan kebudayaan barat, khususnya dalam proses asosiasi  ilmu pengetahuan dan teknologi[8]. Dengan kata  lain modernisasi di dunia Islam dengan pola kedua bersifat exogenous yaitu berubah karena bersentuhan dengan budaya barat dan pola pertama lebih bersifat. endogenous yaitu perkembangan  bersumber dari unsur-unsur budaya mereka sendiri [9] 

Pembaharuan dalam pengertian pertama dipelopori pertama sekali  oleh Ibnu Taimiyah[10], Ibnu Qayyim Al Jauziah[11], Muhammad bin Abdul Wahab dan beberapa tokoh lain. Sedangkan pengertian pembaharuan yang kedua berangkat dari apa yang didengungkan oleh Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan beberapa ulama lain.[12]

Peta Pembaharuan 

Pembaharuan pemikiran dalam Islam berangkat dari kekalahan umat Islam ketika berhadapan dengan bangsa Eropa. Pembaharuan di Mesir terjadi ketika negara ini telah dikuasai oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis pada tahun 1798. Kedatangan Napoleon ke Mesir tidak hanya membawa angkatan perang, tetapi ia mengikutsertakan kan 167 tenaga ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan serta satu set alat pencetak huruf Latin, Arab dan Yunani. Ekspedisi ini berlanjut dengan berdirinya Institut d'Egypte yang mempunyai empat jurusan yaitu : Ekonomi-Politik, Sastra-Seni, Ilmu Pasti dan Ilmu Alam. Untuk kepentingan publikasi ilmiah maka diterbitkan majalah La Decade Egypte[13].

Pembaharuan ini berlanjut pada pemerintahan Muhammad Ali Pasya. Ia mendirikan lembaga pendidikan dengan berbagai jurusan seperti : teknik, militer, farmasi, pertanian, pertambangan. Selain itu ia juga mengirimkan siswa ke Eropa untuk belajar di sana[14]  Pembaharuan ini berlanjut pada masa At Tahtawi dan puncaknya terjadi pada masa Muhammad Abduh menjadi rektor Universitas Al Azhar. Ia melakukan serangkaian perubahan ditubuh Al Azhar. Hal mendasar yang dilakukan adalah memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum pendidikan, mengubah sistem pengajaran dengan tujuan supaya semua mahasiswa mendapat pencerahan dan nuansa baru dalam lalu lintas kajian keilmuan. Hal ini sangat penting karena Universitas Al Azhar adalah salah satu kiblat pendidikan dunia Islam.

Di Turki pembaharuan pemikiran terjadi setelah kekalahan yang dialami Turki Usmani ketika menghadapi bangsa Eropa. Perlengkapan militer yang dimiliki Turki Usmani jauh tertinggal dibandingkan persenjataan yang dimiliki bangsa Eropa. Hal ini mendorong penguasa Turki Usmani untuk mengubah sistem persenjataan dan melatih tentaranya menggunakan taktik, strategi dan peralatan perang modern. Oleh karena itu mereka mengundang seorang perwira dari Perancis bernama De Rochetort ke Istanbul untuk melatih tentara Usmani dalam ilmu kemiliteran modern. Mereka juga mengundang seorang ahli dari Perancis bernama Comte De Bonneval yang bertujuan melatih tentara turki menggunakan peralatan tempur modern.[15]

Dalam lapangan non militer pembaharuan pemikiran di Turki dilakukan dengan cara membuka percetakan, untuk mencetak buku-buku yang berhubungan dengan kedokteran, astronomi, ilmu pasti, sejarah dan lainnya. Tokoh yang paling berperan dalam pembaharuan ini adalah Ibrahim Mutafarrika. Upaya yang ia lakukan didukung oleh proses penerjemahan buku dari berbagai disiplin ilmu kedalam bahasa Turki. Selain itu ia juga mengarang buku ilmu bumi, ilmu alam, politik dan militer. Usaha pembaharuan yang lebih nyata dilakukan oleh Sultan Mahmud II, ia melakukan perombakan besar-besaran terhadap kurikulum madrasah tradisional dengan menambah pengetahuan-pengetahuan umum ke dalamnya. Ia juga mendirikan madrasah dengan sistem pendidikan modern yaitu : Mekteb-i Al Ma’arif dan Makteb-i Ulum-U Edebiye. Siswa yang dipilih untuk sekolah ini adalah lulusan-lulusan madrasah yang berprestasi. Di kedua maktab ini diajarkan bahasa Perancis, Ilmu Ukur, Ilmu Pasti, Sejarah dan Ilmu Politik.

Di India pembaharuan pemikiran Islam muncul dengan lahirnya MAOC (Muhammmedan Anglo Oriental College) di Aligarh, yang dipelopori oleh Sayyid Ahmad Khan, seorang pemikir yang telah membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan modern. Ide-ide pembaharuan yang ditawarkan mempunyai banyak kesamaan dengan apa yang ditawarkan oleh Muhammad Abduh. Buah dari pemikiran Ahmad Khan lahirlah sebuah pergerakan yang dinamakan dengan Gerakan Aligarh, yang menjadi motor penggerak utama pembaharuan dalam masyarakat muslim India. Gerakan ini pula yang mengubah status umat Islam dari masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat maju.

Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia pertama sekali muncul di Minangkabau setelah 3 orang ulama yang kembali dari Makkah pada tahun 1803. Ketiganya adalah haji Sumanik, Haji Piabang dan Haji Miskin. Kepulangan mereka dari tanah suci membawa perubahan yang besar dalam masyarakat Minangkabau. Pembaharuan yang mereka lakukan terinspirasi dari gerakan pemurnian agama yang dilakukan oleh gerakan salafi di bawah pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab di Makkah yang berusaha mengembalikan dasar beragama kepada Al Qur’an dan hadits[16]. Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia baru muncul secara nyata pada awal abad 20 dengan munculnya berbagai organisasi pergerakan dan lembaga pendidikan seperti Jami’ah Al Khairiah, Al Irsyad, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama.

Ide Dan Tokoh Pembaharuan 

Gerakan pembaharuan pemikiran dalam islam tidak lepas dari peran beberapa tokoh pembaharuan. Di antara tokoh pembaharuan tersebut adalah :

1.    Jamaluddin Al Afgani

Jamaluddin Al Afgani lahir Asad Obad, Kabul Afghanistan pada tahun 1838 dengan nama asli Muhammad bin Safdar Al Husaini. Walaupun lahir dan menghabiskan waktu kecil hingga remaja di Kabul akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya ia lebih banyak menghabiskan hidupnya untuk berjuang di Negara Mesir, India, dan Perancis. Delapan belas tahun lamanya Al Afgani menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu sehingga ia tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi ia juga mengkaji filsafat, hukum, sejarah, metafisika, kedokteran sains, astronomi dan astrologi. Kemampuannya yang luar biasa dan kepandaiannya dalam beretorika menyebabkan masyarakat merasa kagum kepadanya[17].

Jamaluddin Al Afgani adalah modernis muslim pertama walaupun ia tidak mengakui modernisme intelektual itu sendiri. Al Afghani banyak menghabiskan waktunya di Mesir serta terlibat secara aktif dalam masalah-masalah politik[18]. Gagasan pembaharuan yang disampaikan lebih cenderung kepada aspek politik. Gagasan ini ia tuangkan dalam konsep yang dinamakan dengan Pan Islamisme,

Al Afgani cenderung membawa umat Islam untuk melangkah dari keyakinan tradisional menuju keterbukaan pikiran rasionalisme yang mempunyai asal usul yang jelas. Ia beranggapan bahwa kemunduran umat islam disebabkan oleh otoriterisme politik dan lumpuhnya ilmu pengetahuan dan filsafat oleh tirani dan fanatisme. Umat Islam harus meninggalkan takhayul dan kelambanan serta kembali kepada agama yang benar-benar sesuai dengan semangat ilmu pengetahuan modern. Umat Islam harus menghindari ketundukan kepada prasangka dan tidak boleh puas dengan sekedar taklid kepada leluhur mereka. 

Pan Islamisme adalah suatu paham yang bertujuan untuk mempersatukan seluruh umat Islam di dunia. Perkembangan paham ini erat kaitanya dengan kondisi umat Islam yang mundur pada awal abad 20, ditindas dan dijajah oleh bangsa Eropa. Al Afghani menggalang seluruh kekuatan untuk mewujudkan aliran ini. Gagasan ini mendapat sambutan yang luar biasa dari seluruh pemimpin golongan intelektual Islam.  Tokoh-tokoh pemikir islam menganggap bahwa Pan Islamisme sangat penting untuk mengembalikan pola pemerintahan kekhalifahan. Gerakan ini terus tersebar keseluruh dunia dan buah dari gerakan ini adalah berdirinya Liga Dunia Islam (Muslim World League Atau rabitah Al Alam Al Islam) pada tahun 1962 yang didukung 43 negara

Pan Islamisme adalah sebuah gagasan untuk membangkitkan dan menyatukan dunia Arab khususnya dan dunia Islam pada umumnya untuk melawan kolonialisme barat. Yang menduduki Negara-negara Islam. Inti dari “pan islamisme” terletak pada ide bahwa Islam adalah satu-satunya ikatan kesatuan muslim. Jika ikatan ini kokoh maka, maka akan menjadi sebuah ikatan yang menjadi sumber kehidupan dan pusat loyalitas dan solidaritas yang akan melahirkan sebuah proses pembentukan dan pemeliharaan Negara  Islam yang kuat dan stabil.[19]     

Jamaluddin meninggalkan pengaruh yang luar biasa di negara Islam yang dikunjungi. Di Mesir ia mampu membangkitkan gerakan berpikir  secara modern sehingga Mesir mampu mencapai kemajuan. Melalui majalah Urwatul Wusqa yang terbit di Paris ia menyebarkan ide-ide pembaharuan. Ia mengecam keras bangsa Barat karena melakukan penjajahan terhadap bangsa-bangsa di Timur Tengah. Ia mengemukakan pandangan bahwa perlunya sebuah usaha nyata dari umat Islam untuk membendung serbuan dan serangan bangsa asing. Ide-ide pembaharuan yang digagas oleh Jamaluddin yang revolusioner, anti tirani dan demokratis semakin populer di kalangan masyarakat Namun hal ini menimbulkan rasa tidak senang  di kalangan penguasa baik lokal maupun asing karena dapat mengancam kekuasaan mereka.[20]

2.   Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir di Mahallat Nashr Cairo Mesir pada tahun 1849. Ayahnya bernama Abduh Hasan yang berasal dari Turki. Ibunya adalah keturunan Arab asli yang silsilahnya sampai kepada Umar bin Khattab ra. Ia lahir pada masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya.[21] Ia mengawali pendidikan dengan belajar membaca, menulis dan menghafal Quran. Dalam usia dua tahun ia sudah mampu menghafal seluruh ayat Quran. Pada usia 14 tahun ia dikirim oleh ayahnya ke Tanta untuk belajar di Masjid Al Ahmadi (Jaamiah Al Ahmadi) dan selanjutnya ia melanjutkan ke Universitas Al Azhar pada tahun 1866.

Pada tahun 1870 Muhammad Abduh mempunyai kesempatan untuk berdialog dengan Jamaluddin Al Afgani. Ini merupakan awal perkenal antara Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al Afgani. Dalam perjalanan selanjutnya Abduh berguru kepada Al Afgani untuk mendalami filsafat, logika, matematika, politik, teologi dan jurnalistik. setelah menamatkan pendidikannya di Al Azhar pada tahun 1877 Abduh memulai karirnya menjadi seorang pengajar di Universitas Al Azhar dalam mata kuliah logika, teologi dan filsafat. Ia juga membuka halaqah di beberapa tempat lain.

Sama seperti Jamaluddin Al Afgani, Abduh memandang bahwa salah satu alasan mengapa umat Islam tertinggal dan mengalami kemunduran adalah hilangnya tradisi intelektual yang intinya adalah kebebasan berpikir. Berbeda dengan Al Afgani yang mengutamakan bidang politik, Abduh lebih melihat bahwa pendidikan dan keilmuan merupakan persoalan utama yang dihadapi umat Islam sehingga dalam perjalanan selanjutnya ia lebih mencurahkan perhatiannya terhadap dunia pendidikan dan reformasi intelektual.[22]

Usaha yang dilakukan oleh Abduh dalam rangka memperbaharui pendidikan berbentuk reformasi dan merombak sistem pendidikan di Universitas Al Azhar. Hal penting yang ia lakukan adalah menjadikan filsafat sebagai salah satu mata kuliah, untuk mengembangkan intelektualisme yang mulai padam.[23]Abduh juga mengusahakan metode belajar dan mengajar yang tepat, memilih ilmu pengetahuan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat serta keperluan hidup kaum muslimin.[24]

Namun pada awalnya usaha ini ditolak oleh dewan Al Azhar. Penolakan ini tidak membuat Muhammad Abduh mundur. Ia tetap konsisten untuk membangkitkan dan mengembangkan kembali tradisi intelektual Islam yang bebas. Niat baik ini akhirnya dapat diwujudkan, nuansa baru dalam tubuh Universitas Al Azhar mulai terasa. Semenjak tahun 1901 (Di saat Abduh menjadi Rektor Universitas Al Azhar).[25]gagasan dan ide Muhammad Abduh ternyata tidak hanya dikembangkan di lingkungan Al Azhar. Tetapi dalam berbagai suasana ia menyampaikan ide-ide pembaharuan dengan tujuan supaya umat Islam mendapat pencerahan dengan ide-ide tersebut.       

3.   Muhammad bin Abdul Wahab

Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan tahun 1701 M di desa  Uyainah Najd, lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan berkembang  dalam kalangan keluarga berpendidikan. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan kakak laki-lakinya adalah seorang qadhi (mufti besar), di mana masyarakat selalu mengembalikan permasalahan hukum agama kepadanya[26]

Muhammad bin Abdul Wahab merupakan pencetus gerakan puritan (pemurnian akidah). Gerakan ini kemudian lebih dikenal dengan gerakan wahabi, sebuah gerakan  yang banyak diilhami oleh Imam Ahmad bin Hanbal.[27] Pada awalnya Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab bertujuan untuk mengoreksi keadaan internal umat islam dan berusaha menghentikan kemerosotan yang sedang melanda umat islam. Ia memulainya dengan mengkampanyekan ruh tauhid yang sebenarnya. Umat Islam diajak untuk kembali hidup sebagai umat yang terhormat. Dalam menegakkan aliran ini ia mendapat dukungan penuh dari Ibnu Saud sultan di Jazirah Arab.[28]

Istilah Wahhabi yang dinisbahkan kepada Muhammad bin Abdul Wahab sering menimbulkan kontroversi. Sebagian umat Islam  menghubungkan mereka dengan gerakan teroris, padahal ajaran mereka sangat anti teroris. istilah Wahhabi ini tidaklah wajar  untuk dinisbatkan kepada  nama suatu gerakan, karena sejatinya nama Wahhab adalah nama hanya untuk Allah Ta'ala. Oleh karena itu mereka menisbatkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (unitarians) atau t salafus shalih (pengikut kaum salih),  karena mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam dan cara beragama menurut sunnah Rasulullah yang telah ditinggalkan masyarakat. Dalam dataran penalaran agama mereka mengikuti Mazhab Hambali merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.[29]

4.   Muhammad Rasyid Ridha

Muhammad Rasyid Ridha lahir di Qalmun sebuah wilayah di Lebanon Utara pada tanggal 18 Oktober 1865. Sejak kecil Rasyid Ridha telah menghafal Quran dan digembleng secara langsung dengan ilmu keislaman, seperti tafsir, hadits, fiqh dan Bahasa Arab oleh ulama-ulama besar di tanah kelahirannya. Ia memperoleh pendidikan dasar pada Madrasah Wathaniyah Islamiyah dan selanjutnya ia melanjutkan studinya ke Bairut sampai meraih gelar al alimiyah[30] 

Pemikiran Muhammad Rasyid Ridha banyak terpengaruh oleh majalah ‘al-‘Urwah al-Wutsqa’ serta artikel-artikel para ulama dan sastrawan. Tetapi yang paling berpengaruh adalah gurunya Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh. Ia benar-benar terpengaruh dengan kedua gurunya tersebut sehingga-seakan-gurunya lah yang telah menggerakkan akal -pikirannya untuk membuang jauh-jauh seluruh bid’ah dan menggabungkan antara ilmu agama dan pengetahuan modern serta mengupayakan tegak kokohnya umat dalam upaya menggapai kemenangan.  

Muhammad Rasyid Ridha adalah seorang pemikir muslim intelektual muslim yang ikut mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya digagas oleh gurunya Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ridha mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat muslim saat itu, dibandingkan masyarakat kolonialis Barat dan menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara lain kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi secara buta (taqlid), minat yang berlebihan terhadap dunia sufi dan “matinya” pemikiran ulama yang mengakibatkan timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi. Ia berpendapat bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali ke prinsip-prinsip dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern.



[1]Imam Munawwir, Kebangkitan Umat Islam, (Semarang : Bina Ilmu, t.t) hal. 136

[2]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009), hal.  349

[3]Tajdid merupakan kata yang diambil dari Bahasa Arab dengan kata dasarnya jaddada-yujaddidu-tajdiidan yang berarti memperbaharui

[4]Istilah puritan pada awalnya dihubungkan dengan sekelompok jamaah di Inggris pada abad ke 16 dan 17 yang berusaha memperjuangkan kemurnian doktrin agama. Istilah ini kemudian dipergunakan untuk menggambarkan gerakan yang bertujuan untuk memurnikan ajaran agama. 

[5]Djohan Effendi dalam  Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi menyebutkan bahwa   pembaharuan dibagi kedalam dua bentuk  yaitu kebangkitan (revivalis) yang cenderung berorientasi ke belakang dan pembaharuan (reformis)  yang  cenderung berorientasi ke depan. Ungkapan ini berbeda dengan pemahaman yang dipaparkan pada paragraf ke 2

[6]Darul Aqsha, Kiai Haji Mas Mansur (1986 – 1946), Perjuangan dan Pemikiran, (Bandung : Erlangga, t.t), hal 10

[7]Akhmad Jenggis, Kebangkitan Islam, (Yogyakarta : NFP Publishing, 2011), hal. 19

[8]Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa, Pemikiran dan Gerakan Islam K.H. Ahmad Rifa’i  Kalisalak, (Yogyakarta : LKis, 2001), hal. 4

[9]Abdul Rahman Haji Abdullah,  Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Aliran, (Jakarta : Gema Insani Press, 1997) hal. 19

[10]Ibnu Taimiyah adalah seorang pemikir dan ulama dari Haran (Sanliurfa) Turki, ia lahir pada saat Daulah Bani Abbasiyah mengalami kehancuran. Ia adalah seorang tokoh yang berusaha memurnikan ajaran agama Islam dengan melarang mengunjungi tempat-tempat yang dianggap keramat. Karena ia mempunyai pemikiran yang radikal ia dipenjara sampai akhir hayatnya.   

[11]Ibnu Qayyim Al Jauziyyah adalah seorang fuqaha bermazhab sunni. Ia adalah murid Ibnu Taimiyah dan pernah menyaksikan ketika gurunya meninggal dalam penjara. Ia pernah dihina dan diarak bersama gurunya karena punya pemikiran yang berbeda dengan masyarakat pada saat itu.

[12]Darul Aqsa, Kiai Haji Mas..., hal. 11

[13]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1982), hal 37

[14]Ibid. hal. 34

[15]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam..., 16

[16]Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern Dalam Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), hal. 108.

[17]Akhmad Jenggis, Kebangkitan Islam..., hal.60-61

[18]Farhad Daftari, Intellectual Tradition In Islam, Terj. Fuad Jabali dan Udjan Tholib, Tradisi-Tradisi Intelektual Islam, (Bandung : Erlangga, 2002), hal. 89

[19]Herry Muhammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta : Gema Insani Press, 2006), hal. 217

[20]R.A. Gunadi, Dari Penakluk Jerussalem Hingga Angka Nol, (Jakarta : Republika, t.t) hlm. 138-139

[21]Hafidz Dasuki, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoevel, 1991), hal 255 

[22]Nurcholis Majid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1998), hal. 310

[23]Yusran Asmuni, Pengantar Study Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 1998), hal 82 

[24]Imam Munawir, Kebangkitan Umat Islam, hal. 138

[25]Ibid. hal 155

[26]A Shihabuddin , Membongkar Kejumudan Menjawab Tuduhan-Tuduhan Salafi Wahabi,  (Bandung : Mizan, 2013), hal. 10

[27]Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar Di Perjalananku  : Autobiografi Ahmad Syafii Maarif, (Bandung : Mizan, 2009), hal 182.

[28]Anwar Harjono, Indonesia Kita : Pemikiran berwawasan Iman-Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hal. 65.

[29]A Shihabuddin , Membongkar Kejumudan Menjawab...,hal. 10 

[30]Herry Muhammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam hal. 312

Post a Comment for "Pembaharuan Islam"