Pembaharuan Islam
Latar Belakang
Pembaharuan
timbul apabila sesuatu yang ada sudah tidak mampu lagi bertahan guna memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Dan tidak mampu lagi menjawab aneka ragam manfaat dan
kepentingan. Kesadaran terhadap perlunya pembaharuan biasanya terdapat pada
kalangan yang telah melihat dunia luar dan melakukan studi perbandingan
kemudian menyadari posisi dirinya. Bagi yang tidak melihat perkembangan dunia
dan berpandangan sempit maka hal yang baru merupakan sesuatu yang tabu dan aneh
serta merupakan sesuatu yang perlu ditakuti, karena mereka merasa hal baru
tersebut merusak tatanan yang mereka anggap sudah mapan. Masyarakat pada
umumnya adalah abdi adat, karena itu sangat sukar menerima perubahan[1]
Kondisi
ini pernah dialami oleh umat Islam di Mesir, Turki dan wilayah-wilayah lainya.
Sebagai contoh Turki pernah mengalami kekalahan beruntun dalam perang menghadapi bangsa Eropa. Kondisi ini menyebabkan penguasa Turki
melakukan evaluasi menyeluruh untuk menemukan penyebab kekalahan mereka.
Ternyata kekalahan yang dialami disebabkan oleh teknologi persenjataan dan
strategi perang yang mereka miliki sudah sudah jauh tertinggal. Termotivasi
dengan kondisi ini para penguasa Turki berusaha melakukan perombakan terhadap
sistem pendidikan mereka khususnya dalam lapangan militer. Mereka mengambil
kebijakan dengan membubarkan tentara lama dan dengan tentara baru yang mendapat
pelatihan dengan sistem pendidikan Eropa.[2]
Hal
yang sama juga dialami oleh negara negara Islam lainnya. Pemikiran yang jumud
(beku), taqlid dan tabu pada awalnya merupakan penyakit kronis yang sulit untuk
diobati. Mereka menganggap bahwa mengembangkan intelektualisme adalah yang
“haram” untuk dilakukan. Bahkan pertentangan antara ulama tradisional dan ulama
cendikiawan dianggap sebagai “perang” antara agama dan akal. Namun dalam perjalanan selanjutnya
seiring dengan gencarnya kampanye bahwa intelektualitas merupakan sebuah
keharusan, maka isu pembaharuan tidak lagi dianggap tabu dalam masyarakat.
Pengertian Pembaharuan
Istilah
Pembaharuan mempunyai korelasi yang sangat erat dengan kata modernisasi, tajdid[3],
puritan[4],
kebangkitan dan reformasi. Istilah-istilah tersebut pada prinsipnya mempunyai
arti yang sama yaitu : “perubahan”, walaupun dalam perjalanan selanjutnya istilah-istilah
di atas dipahami dengan makna yang berbeda. Perbedaan penggunaan istilah ini
bukanlah masalah mendasar untuk dibahas, karena hanya berbeda sudut pandang
saja dan kecenderungan dikalangan para pemikir Islam
Pembaharuan
pemikiran dalam Islam pada umumnya dibedakan dalam dua istilah saja yaitu
“reformasi” (reform) dan
“modernisasi” (modernization).[5]
Pembaharuan dalam pengertian pertama diartikan dengan kembali kepada yang
asli, dalam bentuk proses mengkaji, menghayati dan mengamalkan
Quran dan Sunnah dengan memurnikan keyakinan tauhid, melepaskan diri dari
taklid buta dan membuka pintu ijtihad kembali. Pembaharuan dalam artian ini
bukan berarti mengadakan perubahan terhadap isi ajaran islam, tetapi
mengembalikan pemahaman pemeluk agama terhadap isi dan jiwa yang terkandung di
dalamnya agar karena pengamalan ajaran Islam selama ini dianggap menyimpang.
Sedangkan pembaharuan dalam kontek yang
kedua bukanlah suatu penggalian kembali atau pemahaman baru terhadap sumber
utama ajaran Islam, tetapi suatu perubahan yang bersifat kulit atau permukaan.
Misalnya perubahan yang bersifat sosio-kultural, edukasi, politik dan ekonomi.[6] Bila
kita melihat lebih jauh maka kita konsep pertama dipandang sebagai sebagai
permulaan sekaligus inspirator lahirnya pembaharuan pemikiran dalam Islam[7]
Pemikiran
yang pertama lebih cenderung menghendaki perbaikan di dunia Islam tanpa
mengakomodasi budaya barat, bahkan dalam kondisi tertentu menolak karena
bertentangan dengan prinsip Islam. Pemikiran yang kedua lebih cenderung mengadopsi
dengan kebudayaan barat, khususnya dalam proses asosiasi ilmu pengetahuan dan teknologi[8].
Dengan kata lain modernisasi di dunia
Islam dengan pola kedua bersifat exogenous
yaitu berubah karena bersentuhan dengan budaya barat dan pola pertama lebih
bersifat. endogenous yaitu
perkembangan bersumber dari unsur-unsur
budaya mereka sendiri [9]
Pembaharuan
dalam pengertian pertama dipelopori pertama sekali oleh Ibnu Taimiyah[10], Ibnu Qayyim Al Jauziah[11],
Muhammad bin Abdul Wahab dan beberapa tokoh lain. Sedangkan pengertian
pembaharuan yang kedua berangkat dari apa yang didengungkan oleh Jamaluddin Al
Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan beberapa ulama lain.[12]
Peta Pembaharuan
Pembaharuan pemikiran dalam Islam berangkat dari kekalahan
umat Islam ketika berhadapan dengan bangsa Eropa. Pembaharuan di Mesir terjadi
ketika negara ini telah dikuasai oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis pada
tahun 1798. Kedatangan Napoleon ke Mesir tidak hanya membawa angkatan perang,
tetapi ia mengikutsertakan kan 167 tenaga ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan
serta satu set alat pencetak huruf Latin, Arab dan Yunani. Ekspedisi ini
berlanjut dengan berdirinya Institut
d'Egypte yang mempunyai empat jurusan yaitu : Ekonomi-Politik, Sastra-Seni,
Ilmu Pasti dan Ilmu Alam. Untuk kepentingan publikasi ilmiah maka diterbitkan
majalah La Decade Egypte[13].
Pembaharuan ini berlanjut pada pemerintahan Muhammad Ali
Pasya. Ia mendirikan lembaga pendidikan dengan berbagai jurusan seperti :
teknik, militer, farmasi, pertanian, pertambangan. Selain itu ia juga
mengirimkan siswa ke Eropa untuk belajar di sana[14] Pembaharuan ini berlanjut pada masa At
Tahtawi dan puncaknya terjadi pada masa Muhammad Abduh menjadi rektor Universitas
Al Azhar. Ia melakukan serangkaian perubahan ditubuh Al Azhar. Hal mendasar
yang dilakukan adalah memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum
pendidikan, mengubah sistem pengajaran dengan tujuan supaya semua mahasiswa
mendapat pencerahan dan nuansa baru dalam lalu lintas kajian keilmuan. Hal ini
sangat penting karena Universitas Al Azhar adalah salah satu kiblat pendidikan
dunia Islam.
Di Turki pembaharuan pemikiran terjadi setelah kekalahan
yang dialami Turki Usmani ketika menghadapi bangsa Eropa. Perlengkapan militer
yang dimiliki Turki Usmani jauh tertinggal dibandingkan persenjataan yang
dimiliki bangsa Eropa. Hal ini mendorong penguasa Turki Usmani untuk mengubah
sistem persenjataan dan melatih tentaranya menggunakan taktik, strategi dan peralatan
perang modern. Oleh karena itu mereka mengundang seorang perwira dari Perancis
bernama De Rochetort ke Istanbul untuk melatih tentara Usmani dalam ilmu
kemiliteran modern. Mereka juga mengundang seorang ahli dari Perancis bernama
Comte De Bonneval yang bertujuan melatih tentara turki menggunakan peralatan
tempur modern.[15]
Dalam lapangan non militer pembaharuan pemikiran di Turki
dilakukan dengan cara membuka percetakan, untuk mencetak buku-buku yang
berhubungan dengan kedokteran, astronomi, ilmu pasti, sejarah dan lainnya.
Tokoh yang paling berperan dalam pembaharuan ini adalah Ibrahim Mutafarrika.
Upaya yang ia lakukan didukung oleh proses penerjemahan buku dari berbagai
disiplin ilmu kedalam bahasa Turki. Selain itu ia juga mengarang buku ilmu bumi,
ilmu alam, politik dan militer. Usaha pembaharuan yang lebih nyata dilakukan
oleh Sultan Mahmud II, ia melakukan perombakan besar-besaran terhadap kurikulum
madrasah tradisional dengan menambah pengetahuan-pengetahuan umum ke dalamnya.
Ia juga mendirikan madrasah dengan sistem pendidikan modern yaitu : Mekteb-i Al Ma’arif dan Makteb-i Ulum-U Edebiye. Siswa yang
dipilih untuk sekolah ini adalah lulusan-lulusan madrasah yang berprestasi. Di
kedua maktab ini diajarkan bahasa Perancis, Ilmu Ukur, Ilmu Pasti, Sejarah dan
Ilmu Politik.
Di India pembaharuan pemikiran Islam muncul dengan lahirnya
MAOC (Muhammmedan Anglo Oriental College)
di Aligarh, yang dipelopori oleh Sayyid Ahmad Khan, seorang pemikir yang telah
membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan modern. Ide-ide pembaharuan
yang ditawarkan mempunyai banyak kesamaan dengan apa yang ditawarkan oleh
Muhammad Abduh. Buah dari pemikiran Ahmad Khan lahirlah sebuah pergerakan yang
dinamakan dengan Gerakan Aligarh, yang menjadi motor penggerak utama pembaharuan
dalam masyarakat muslim India. Gerakan ini pula yang mengubah status umat Islam
dari masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat maju.
Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia pertama sekali
muncul di Minangkabau setelah 3 orang ulama yang kembali dari Makkah pada tahun
1803. Ketiganya adalah haji Sumanik, Haji Piabang dan Haji Miskin. Kepulangan
mereka dari tanah suci membawa perubahan yang besar dalam masyarakat
Minangkabau. Pembaharuan yang mereka lakukan terinspirasi dari gerakan
pemurnian agama yang dilakukan oleh gerakan salafi di bawah pimpinan Muhammad
bin Abdul Wahab di Makkah yang berusaha mengembalikan dasar beragama kepada Al
Qur’an dan hadits[16].
Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia baru muncul secara nyata pada awal
abad 20 dengan munculnya berbagai organisasi pergerakan dan lembaga pendidikan
seperti Jami’ah Al Khairiah, Al Irsyad, Muhammadiyah, dan Nahdlatul
Ulama.
Ide Dan Tokoh Pembaharuan
Gerakan
pembaharuan pemikiran dalam islam tidak lepas dari peran beberapa tokoh
pembaharuan. Di antara tokoh pembaharuan tersebut adalah :
1.
Jamaluddin Al Afgani
Jamaluddin
Al Afgani lahir Asad Obad, Kabul Afghanistan pada tahun 1838 dengan nama asli
Muhammad bin Safdar Al Husaini. Walaupun lahir dan menghabiskan waktu kecil
hingga remaja di Kabul akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya ia lebih banyak
menghabiskan hidupnya untuk berjuang di Negara Mesir, India, dan Perancis.
Delapan belas tahun lamanya Al Afgani menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu
sehingga ia tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi ia juga mengkaji filsafat,
hukum, sejarah, metafisika, kedokteran sains, astronomi dan astrologi.
Kemampuannya yang luar biasa dan kepandaiannya dalam beretorika menyebabkan
masyarakat merasa kagum kepadanya[17].
Jamaluddin
Al Afgani adalah modernis muslim pertama walaupun ia tidak mengakui modernisme
intelektual itu sendiri. Al Afghani banyak menghabiskan waktunya di Mesir serta
terlibat secara aktif dalam masalah-masalah politik[18]. Gagasan pembaharuan yang
disampaikan lebih cenderung kepada aspek politik. Gagasan ini ia tuangkan dalam
konsep yang dinamakan dengan Pan Islamisme,
Al
Afgani cenderung membawa umat Islam untuk melangkah dari keyakinan tradisional
menuju keterbukaan pikiran rasionalisme yang mempunyai asal usul yang jelas. Ia
beranggapan bahwa kemunduran umat islam disebabkan oleh otoriterisme politik
dan lumpuhnya ilmu pengetahuan dan filsafat oleh tirani dan fanatisme. Umat
Islam harus meninggalkan takhayul dan kelambanan serta kembali kepada agama
yang benar-benar sesuai dengan semangat ilmu pengetahuan modern. Umat Islam
harus menghindari ketundukan kepada prasangka dan tidak boleh puas dengan
sekedar taklid kepada leluhur mereka.
Pan
Islamisme adalah suatu paham yang bertujuan untuk mempersatukan seluruh umat
Islam di dunia. Perkembangan paham ini erat kaitanya dengan kondisi umat Islam
yang mundur pada awal abad 20, ditindas dan dijajah oleh bangsa Eropa. Al
Afghani menggalang seluruh kekuatan untuk mewujudkan aliran ini. Gagasan ini
mendapat sambutan yang luar biasa dari seluruh pemimpin golongan intelektual
Islam. Tokoh-tokoh pemikir islam
menganggap bahwa Pan Islamisme sangat penting untuk mengembalikan pola
pemerintahan kekhalifahan. Gerakan ini terus tersebar keseluruh dunia dan buah
dari gerakan ini adalah berdirinya Liga Dunia Islam (Muslim World League Atau rabitah Al Alam Al Islam) pada tahun 1962
yang didukung 43 negara
Pan
Islamisme adalah sebuah gagasan untuk membangkitkan dan menyatukan dunia Arab
khususnya dan dunia Islam pada umumnya untuk melawan kolonialisme barat. Yang
menduduki Negara-negara Islam. Inti dari “pan islamisme” terletak pada ide
bahwa Islam adalah satu-satunya ikatan kesatuan muslim. Jika ikatan ini kokoh
maka, maka akan menjadi sebuah ikatan yang menjadi sumber kehidupan dan pusat
loyalitas dan solidaritas yang akan melahirkan sebuah proses pembentukan dan
pemeliharaan Negara Islam yang kuat dan
stabil.[19]
Jamaluddin meninggalkan pengaruh yang luar biasa di negara
Islam yang dikunjungi. Di Mesir ia mampu membangkitkan gerakan berpikir secara modern sehingga Mesir mampu mencapai
kemajuan. Melalui majalah Urwatul Wusqa
yang terbit di Paris ia menyebarkan ide-ide pembaharuan. Ia mengecam keras
bangsa Barat karena melakukan penjajahan terhadap bangsa-bangsa di Timur
Tengah. Ia mengemukakan pandangan bahwa perlunya sebuah usaha nyata dari umat
Islam untuk membendung serbuan dan serangan bangsa asing. Ide-ide pembaharuan
yang digagas oleh Jamaluddin yang revolusioner, anti tirani dan demokratis
semakin populer di kalangan masyarakat Namun hal ini menimbulkan rasa tidak
senang di kalangan penguasa baik lokal
maupun asing karena dapat mengancam kekuasaan mereka.[20]
2. Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh lahir di Mahallat Nashr Cairo Mesir pada tahun 1849. Ayahnya bernama
Abduh Hasan yang berasal dari Turki. Ibunya adalah keturunan Arab asli yang
silsilahnya sampai kepada Umar bin Khattab ra. Ia lahir pada masa pemerintahan
Muhammad Ali Pasya.[21] Ia
mengawali pendidikan dengan belajar membaca, menulis dan menghafal Quran. Dalam
usia dua tahun ia sudah mampu menghafal seluruh ayat Quran. Pada usia 14 tahun
ia dikirim oleh ayahnya ke Tanta untuk belajar di Masjid Al Ahmadi (Jaamiah Al Ahmadi) dan selanjutnya ia
melanjutkan ke Universitas Al Azhar pada tahun 1866.
Pada
tahun 1870 Muhammad Abduh mempunyai kesempatan untuk berdialog dengan
Jamaluddin Al Afgani. Ini merupakan awal perkenal antara Muhammad Abduh dan
Jamaluddin Al Afgani. Dalam perjalanan selanjutnya Abduh berguru kepada Al
Afgani untuk mendalami filsafat, logika, matematika, politik, teologi dan
jurnalistik. setelah menamatkan pendidikannya di Al Azhar pada tahun 1877 Abduh
memulai karirnya menjadi seorang pengajar di Universitas Al Azhar dalam mata
kuliah logika, teologi dan filsafat. Ia juga membuka halaqah di beberapa tempat
lain.
Sama
seperti Jamaluddin Al Afgani, Abduh memandang bahwa salah satu alasan mengapa
umat Islam tertinggal dan mengalami kemunduran adalah hilangnya tradisi intelektual
yang intinya adalah kebebasan berpikir. Berbeda dengan Al Afgani yang
mengutamakan bidang politik, Abduh lebih melihat bahwa pendidikan dan keilmuan
merupakan persoalan utama yang dihadapi umat Islam sehingga dalam perjalanan
selanjutnya ia lebih mencurahkan perhatiannya terhadap dunia pendidikan dan
reformasi intelektual.[22]
Usaha
yang dilakukan oleh Abduh dalam rangka memperbaharui pendidikan berbentuk
reformasi dan merombak sistem pendidikan di Universitas Al Azhar. Hal penting
yang ia lakukan adalah menjadikan filsafat sebagai salah satu mata kuliah,
untuk mengembangkan intelektualisme yang mulai padam.[23]Abduh juga mengusahakan
metode belajar dan mengajar yang tepat, memilih ilmu pengetahuan yang relevan
dengan kebutuhan masyarakat serta keperluan hidup kaum muslimin.[24]
Namun
pada awalnya usaha ini ditolak oleh dewan Al Azhar. Penolakan ini tidak membuat
Muhammad Abduh mundur. Ia tetap konsisten untuk membangkitkan dan mengembangkan
kembali tradisi intelektual Islam yang bebas. Niat baik ini akhirnya dapat
diwujudkan, nuansa baru dalam tubuh Universitas Al Azhar mulai terasa. Semenjak
tahun 1901 (Di saat Abduh menjadi Rektor Universitas Al Azhar).[25]gagasan
dan ide Muhammad Abduh ternyata tidak hanya dikembangkan di lingkungan Al
Azhar. Tetapi dalam berbagai suasana ia menyampaikan ide-ide pembaharuan dengan
tujuan supaya umat Islam mendapat pencerahan dengan ide-ide tersebut.
3. Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan tahun 1701 M
di desa Uyainah Najd, lebih kurang 70 km
arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan berkembang dalam kalangan keluarga berpendidikan.
Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan kakak
laki-lakinya adalah seorang qadhi (mufti
besar), di mana masyarakat selalu mengembalikan permasalahan hukum agama
kepadanya[26]
Muhammad
bin Abdul Wahab merupakan pencetus gerakan puritan (pemurnian akidah). Gerakan
ini kemudian lebih dikenal dengan gerakan wahabi, sebuah gerakan yang banyak diilhami oleh Imam Ahmad bin
Hanbal.[27]
Pada awalnya Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab bertujuan untuk mengoreksi
keadaan internal umat islam dan berusaha menghentikan kemerosotan yang sedang
melanda umat islam. Ia memulainya dengan mengkampanyekan ruh tauhid yang
sebenarnya. Umat Islam diajak untuk kembali hidup sebagai umat yang terhormat.
Dalam menegakkan aliran ini ia mendapat dukungan penuh dari Ibnu Saud sultan di
Jazirah Arab.[28]
Istilah Wahhabi
yang dinisbahkan kepada Muhammad bin Abdul Wahab sering menimbulkan
kontroversi. Sebagian umat Islam
menghubungkan mereka dengan gerakan teroris, padahal ajaran mereka
sangat anti teroris. istilah Wahhabi
ini tidaklah wajar untuk dinisbatkan kepada nama suatu gerakan, karena sejatinya nama Wahhab adalah nama hanya untuk Allah
Ta'ala. Oleh karena itu mereka menisbatkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (unitarians) atau t salafus shalih (pengikut kaum
salih), karena mereka ingin
mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam dan cara beragama menurut
sunnah Rasulullah yang telah ditinggalkan masyarakat. Dalam dataran penalaran
agama mereka mengikuti Mazhab Hambali merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah.[29]
4. Muhammad Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha lahir di Qalmun sebuah wilayah di
Lebanon Utara pada tanggal 18 Oktober 1865. Sejak kecil Rasyid Ridha telah
menghafal Quran dan digembleng secara langsung dengan ilmu keislaman, seperti
tafsir, hadits, fiqh dan Bahasa Arab oleh ulama-ulama besar di tanah
kelahirannya. Ia memperoleh pendidikan dasar pada Madrasah Wathaniyah Islamiyah dan selanjutnya ia melanjutkan studinya ke
Bairut sampai meraih gelar al alimiyah[30]
Pemikiran
Muhammad Rasyid Ridha banyak terpengaruh oleh majalah ‘al-‘Urwah al-Wutsqa’ serta artikel-artikel para ulama dan
sastrawan. Tetapi yang paling berpengaruh adalah gurunya Jamaluddin Al-Afgani
dan Muhammad Abduh. Ia benar-benar terpengaruh dengan kedua gurunya tersebut
sehingga-seakan-gurunya lah yang telah menggerakkan akal -pikirannya untuk
membuang jauh-jauh seluruh bid’ah dan menggabungkan antara ilmu agama dan
pengetahuan modern serta mengupayakan tegak kokohnya umat dalam upaya menggapai
kemenangan.
Muhammad
Rasyid Ridha adalah seorang pemikir muslim intelektual muslim yang ikut
mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya digagas oleh gurunya Jamaluddin al-Afghani
dan Muhammad
Abduh. Ridha mempelajari
kelemahan-kelemahan masyarakat muslim saat itu, dibandingkan masyarakat
kolonialis Barat dan menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara lain
kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi secara buta (taqlid), minat yang
berlebihan terhadap dunia sufi dan “matinya” pemikiran ulama yang mengakibatkan
timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi. Ia
berpendapat bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali ke prinsip-prinsip
dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern.
[1]Imam Munawwir, Kebangkitan Umat Islam, (Semarang : Bina
Ilmu, t.t) hal. 136
[2]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam,
(Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009), hal. 349
[3]Tajdid merupakan kata
yang diambil dari Bahasa Arab dengan kata dasarnya jaddada-yujaddidu-tajdiidan yang berarti memperbaharui
[4]Istilah puritan pada
awalnya dihubungkan dengan sekelompok jamaah di Inggris pada abad ke 16 dan 17 yang berusaha
memperjuangkan kemurnian doktrin agama.
Istilah ini kemudian dipergunakan untuk menggambarkan gerakan yang bertujuan
untuk memurnikan ajaran agama.
[5]Djohan Effendi
dalam Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi menyebutkan bahwa pembaharuan dibagi kedalam dua bentuk yaitu kebangkitan (revivalis) yang cenderung
berorientasi ke belakang
dan pembaharuan (reformis) yang cenderung berorientasi ke depan. Ungkapan ini
berbeda dengan pemahaman yang dipaparkan pada paragraf ke 2
[6]Darul Aqsha, Kiai Haji Mas Mansur (1986 – 1946),
Perjuangan dan Pemikiran, (Bandung : Erlangga, t.t), hal 10
[7]Akhmad Jenggis, Kebangkitan Islam, (Yogyakarta : NFP
Publishing, 2011), hal. 19
[8]Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa, Pemikiran dan Gerakan
Islam K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak,
(Yogyakarta : LKis, 2001), hal. 4
[9]Abdul Rahman Haji
Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Aliran, (Jakarta : Gema
Insani Press, 1997) hal. 19
[10]Ibnu Taimiyah adalah
seorang pemikir dan ulama dari Haran (Sanliurfa) Turki, ia lahir pada saat Daulah Bani Abbasiyah mengalami
kehancuran. Ia adalah seorang tokoh yang
berusaha memurnikan ajaran agama Islam dengan melarang mengunjungi
tempat-tempat yang dianggap keramat. Karena ia mempunyai pemikiran yang radikal
ia dipenjara sampai akhir hayatnya.
[11]Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
adalah seorang fuqaha bermazhab sunni. Ia adalah murid Ibnu Taimiyah dan pernah
menyaksikan ketika gurunya meninggal dalam penjara. Ia pernah dihina dan diarak
bersama gurunya karena punya pemikiran yang berbeda dengan masyarakat pada saat
itu.
[12]Darul Aqsa, Kiai Haji Mas..., hal. 11
[13]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran
Dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1982), hal 37
[14]Ibid. hal. 34
[15]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam..., 16
[16]Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern Dalam Islam,
(Bandung : Pustaka Setia, 1997), hal. 108.
[17]Akhmad Jenggis, Kebangkitan Islam..., hal.60-61
[18]Farhad Daftari, Intellectual Tradition In Islam, Terj.
Fuad Jabali dan Udjan Tholib,
Tradisi-Tradisi Intelektual Islam, (Bandung : Erlangga, 2002), hal. 89
[19]Herry Muhammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20
(Jakarta : Gema Insani Press, 2006), hal. 217
[20]R.A. Gunadi, Dari Penakluk Jerussalem Hingga Angka Nol,
(Jakarta : Republika, t.t) hlm. 138-139
[21]Hafidz Dasuki, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar
Baru Van Hoevel, 1991), hal 255
[22]Nurcholis Majid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan,
(Bandung : Mizan, 1998), hal. 310
[23]Yusran Asmuni, Pengantar Study Pemikiran Dan Gerakan
Pembaharuan Dalam Dunia Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 1998), hal 82
[24]Imam Munawir, Kebangkitan Umat Islam, hal. 138
[25]Ibid. hal 155
[26]A Shihabuddin , Membongkar Kejumudan Menjawab
Tuduhan-Tuduhan Salafi Wahabi,
(Bandung : Mizan, 2013), hal. 10
[27]Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar Di Perjalananku : Autobiografi Ahmad Syafii Maarif, (Bandung
: Mizan, 2009), hal 182.
[28]Anwar Harjono, Indonesia Kita : Pemikiran berwawasan
Iman-Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hal. 65.
[29]A Shihabuddin , Membongkar Kejumudan Menjawab...,hal.
10
[30]Herry Muhammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam hal. 312
Post a Comment for "Pembaharuan Islam"