Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PERSATUAN ULAMA SELURUH ACEH: BACKGROUND DAN TUJUAN

Setelah Perang Aceh usai, ulama  yang tidak syahid di medan perang berusaha menghidupkan kembali dayah-dayah yang ditinggalkan sebelumnya. Namun proses belajar mengajar tidak berlangsung secara maksimal karena Belanda menerapkan kebijakan pendidikan yang ketat. Belanda membatasi kurikulum pendidikan dayah, sehingga lembaga pendidikan ini tidak bisa dikembangkan secara maksimal. Selain itu aktivitas para ulama juga selalu diawasi oleh Belanda. Sehingga mereka tidak bisa menjalin komunikasi satu sama lain. Mereka bergerak dengan metode dan pola sendiri dalam mengembangkan umat, sehingga memunculkan ketidaksamaan gerak yang berimbas pada kesatuan para ulama. Hal ini diperparah dengan munculnya masalah-masalah khilafiah, di mana antara satu ulama dengan ulama lain memberikan fatwa berbeda sehingga melahirkan disintegrasi di tengah-tengah masyarakat.[1]

Untuk menghindari perpecahan yang lebih besar maka Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap memandang perlu dibentuknya sebuah organisasi yang menyatukan para ulama, sehingga mereka dapat menyatukan visi serta bersama-sama menyelesaikan berbagai persoalan umat. Pemikiran Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap ternyata senada dengan Teungku Ismail Ya’qub, direktur Madrasah Bustanul Ma’arif di Blang Jruen. Hal ini diketahui oleh  Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dalam sebuah diskusi yang berlangsung pada saat perayaan maulid yang berlangsung di Blang Jruen, di mana Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap menjadi penceramah. Untuk membicarakan hal ini lebih lanjut Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap meminta Teungku Ismail Ya’qub untuk datang ke kota Matang Geulumpang Dua[2].

Sebelum Teungku Ismail Ya’qub datang, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap telah mendiskusikan permasalahan organisasi ulama tersebut dengan tokoh-tokoh dan ulama di Matang Geulumpang Dua. Mereka umumnya menyambut dengan antusias ide yang ditawarkan oleh Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap tersebut. Hal ini mendorongnya untuk segera merealisasikan hadirnya sebuah organisasi yang menjadi payung pergerakan para ulama. Ulama di Matang Geulumpang Dua terutama yang tergabung dalam organisasi Al Muslim segera mengambil langkah-langkah lebih lanjut serta mempersiapkan diri terbentuknya organisasi ini.[3].

Ketika Teungku Ismail Ya’qub datang ke Matang Geulumpang Dua, ia mendapat laporan bahwa semua ulama di Peusangan menyetujui apa yang ingin mereka diwujudkan. Namun Teuku Haji Chiek M Johan Alamsyah selaku penguasa zelfbestuurder Peusangan tidak berani memberi izin pelaksanaan musyawarah di wilayahnya karena pertemuan tersebut dihadiri oleh ulama dari seluruh Aceh. Ia menyarankan supaya penggagas pertemuan para ulama mengajukan izin secara langsung kepada Residen Aceh di Kutaraja. Setelah melalui proses negosiasi dengan pihak penguasa Residen Aceh melalui Tuanku Mahmud mengizinkan pelaksanaan musyawarah ulama di Matang Geulumpang Dua.[4]

Setelah surat izin keluar, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap segera mengundang ulama dan tokoh yang ada di Peusangan. Semua elemen masyarakat termasuk siswa Madrasah Al Muslim ikut terlibat dalam pembentukan Panitia Musyawarah Alim Ulama Seluruh Aceh. Dalam rapat pembentukan panitia,Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap terpilih sebagai ketua panitia. Selain itu dalam pertemuan tersebut juga diputuskan bahwa pelaksanaan musyawarah akan dilaksanakan bertepatan dengan pelaksanaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, tanggal 5 Mei 1939 M di Madrasah Al Muslim Peusangan Matang Geulumpang Dua Kabupaten Bireuen. Panitia musyawarah segera menyiapkan surat undangan kepada ulama di seluruh Aceh.[5]

Pada tanggal 12-15 Rabiul Awal 1358 H, bertepatan dengan 5-8 Mei 1939 berlangsunglah Musyawarah Besar Alim Ulama seluruh Aceh bertempat di halaman Madrasah Al Muslim Peusangan Bireuen. Musyawarah berlangsung dalam suasana yang meriah. Masyarakat berbondong-bondong datang ke Kota Matang Geulumpang Dua untuk menyaksikan dan memeriahkan acara tersebut. Terlihat dengan jelas partisipasi aktiv dan rasa simpati seluruh lapisan masyarakat. Konsumsi peserta ditanggung oleh masyarakat di sekitar Matang Geulumpang Dua secara bergilir. Untuk penginapan para peserta tinggal di ruang belajar Madrasah Al Muslim dan sebagian lagi ditempatkan di rumah-rumah tokoh masyarakat. Bahkan Teuku Ampon Chiek Peusangan membuka lebar-lebar rumahnya sebagai tempat tinggal para peserta musyawarah.[6]

Dalam musyawarah hari pertama, Teungku Ismail Ya’qub memberi  penjelasan panjang lebar mengenai ide Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap tentang perlunya sebuah organisasi ulama. Sedangkan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap melobi para peserta untuk memilih Teungku Muhammad Daud Beureueh menjadi ketua. Pada hari itu juga, secara aklamasi seluruh peserta menyetujui pembentukan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Sehingga pada hari itu, tanggal 12 Rabiul Awal 1358 hijriah atau 5 Mei 1939 ditetapkan sebagai hari lahir PUSA.[7]

            Dalam Musyawarah Besar yang berlangsung selama empat hari, tokoh-tokoh PUSA berhasil menyusun Hoodf Bestuur (Pengurus Besar) dengan komposisi :

            Ketua I                        : Teungku Muhammad Daud Beureueh

            Ketua II           : Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap

            Setia Usaha I   : Teungku Muhammad Nur El Ibrahimy

Setia Usaha II  : Teungku Ismail Ya’qub

Bendahara      : Teungku Muhammad Amin

Komisaris       : Teungku Abdul Wahab Keunaloe Seulimum

                                    : Teungku Abdul Hamid Samalanga

                                    : Teungku Utsman Lampoh Awe

                                    : Teungku Yahya Baden Peudada

                                    : Teungku Mahmud Simpang Ulim

                                    : Teungku Ahmad Damanhury Takengon

                                    : Teungku Muhammad Daud Peudada di Langsa

                                    : Teungku Utsman Aziz[8]

 

Teuku Haji Chiek Muhammad Johan Alamsyah ditetapkan sebagai pelindung PUSA karena jasa dan perhatian yang sangat besar terhadap kegiatan ini. Panitia Musyarah dan Pengurus PUSA yang baru terbentuk melobi supaya ia bersedia menduduki posisi yang telah diamanatkan tersebut. Pada awalnya ia tidak bersedia, tetapi setelah didesak oleh semua pihak maka jabatan itu akhirnya diterima.[9]

Para Ulama yang tergabung dalam organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh - terutama pengurus inti - adalah para pejuang, pendidik dan pemimpin ummat yang berpikiran maju yang mampu membaca tanda-tanda zaman. Mereka adalah tokoh-tokoh yang memandang bahwa ilmu pengetahuan modern adalah hal yang penting untuk mencerdaskan masyarakat dan menggapai kemerdekaan. Mereka mempunyai wawasan dan pandangan bahwa masyarakat harus dibebaskan dari berbagai tekanan dan perlakuan penjajah; dari tindakan-tindakan tidak adil dari kaum elit feodal serta diarahkan untuk mengamalkan nilai Islam sesuai dengan nash Al Qur’an dan hadits.[10]

Setelah organisasi terbentuk maka segenap pengurus mengupayakan pemberdayaan internal organisasi. Hal pertama yang dilakukan adalah menjadikan kota Sigli sebagai pusat pergerakan PUSA karena Ketua I dan Setia Usaha I berdomisili di sana. Selanjutnya peserta musyawarah segera mensosialisasikan dan langsung membentuk cabang-cabang PUSA di seluruh daerah. Pembentukan cabang organisasi ini tidak mengalami hambatan yang berarti karena tidak ada oposisi yang menentang. Bahkan di beberapa daerah uleebalang ikut membantu pembentukan cabang PUSA di wilayah kekuasaan mereka dan ada di antara mereka yang menjadi penasihat PUSA. Dalam hal ini Piekaar mengatakan :...” banyak uleebalang yang mengerti dan bersikap baik terhadap PUSA, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi penasehat di daerah masing-masing.[11]

Dalam waktu yang tidak terlalu lama terbentuklah cabang PUSA disetiap wilayah, sehingga dalam waktu satu tahun seluruh Aceh telah di “PUSAkan”. Hal ini bisa terwujud karena seluruh ulama di daerah bisa diyakinkan dan diajak bergabung  oleh ulama yang menjadi peserta musyawarah. Sebagian besar ulama tokoh dari kalangan tua dan pemuda, baik yang konservatif dan moderat dengan penuh semangat bergabung dengan PUSA. Organisasi PUSA merangkul semua elemen dalam membangun dan memajukan masyarakat.[12] Selain membuka cabang PUSA juga menyatakan diri bergabung dengan MIAI (Majelis Islam A’laa Indonesia)-induk dari beberapa organisasi Islam di Indonesia. Hal ini terjadi pada tahun 1942 karena adanya kesamaan visi dengan organisasi yang telah terlebih dahulu bergabung.[13]

PUSA tidak memusuhi ulee balang atau kaum bangsawan, yang menjadi musuh PUSA adalah Belanda dan kaki tangan mereka yang menindas rakyat.[14] Namun ada juga yang memandang bahwa PUSA adalah organisasi yang ingin mengembalikan sistem Kesultanan Aceh semisal Teuku Cut Hasan yang menafsirkan PUSA dengan istilah Persatuan Untuk Sulthanat Aceh.[15]Tuduhan mengembalikan kesultanan Aceh hanya sebagai alasan penolakan kalangan feodal pendukung Belanda atas kehadiran PUSA. Mereka khawatir PUSA akan mengambil alih peran mereka, sehingga mereka berusaha menghambat perkembangan organisasi ini. Salah satu cara yang ditempuh adalah menggunakan politik memecah belah. Mereka merangkul ulama konservatif dan mengarahkan mereka memprovokasi masyarakat untuk menolak kehadiran PUSA. Kegiatan dak’wah yang dilaksanakan oleh ulama-ulama pengikut PUSA di intimidasi, sedangkan aktivitas keagamaan yang dijalankan oleh ulama tradisional didukung penuh oleh pemerintah.[16]

Selain di Aceh kehadiran PUSA juga disambut dengan antusias oleh para pelajar di perantauan. Mereka menganggap bahwa PUSA adalah sebuah organisasi yang lahir dari amanah sidang istimewa komando tertinggi perang gerilya. Kehadiran organisasi ini segera disosialisasikan kepada kaum terpelajar di provinsi lain sehingga mereka tertarik untuk mengikuti perjuangan PUSA bahkan hadir dalam kongres dan pertemuan lainya.[17]

Sebagian sejarawan beranggapan bahwa pendirian PUSA hanya dilandasi oleh  kepentingan politik semata. Hanya sebagai  satu kelompok sosial yang ingin menghambat atau menyeimbangkan peran ulee balang dalam masyarakat Aceh. Berkenaan dengan pernyataan di atas B. J Bolan menyebutkan:

“Colonial authority was established by making use of the disunity among the uleebalang, and by fitting them into the colonial civil administration, from that time stemmed the opposition and conflict between the uleebalangs and ulama, and it was this conflict which would be decisive for furthe development in Atjeh. In the ulamas were united in PUSA (Persatuan Ulama-Ulama Seluruh Atjeh, All-Atjeh Ulama Union). At the end of 1945 these initials came to be used for the slogan Pembasmian Uleebalang-Uleebalang Seluruh Atjeh, that is, extermination of the uleebalangs of all Atjeh!”.[18]

Sebagian penulis sejarah malah menggambarkan PUSA sebagai organisasi terlarang, organisasi separatis yang ingin melakukan pemberontakan. Dengan mengutip Van Dijk, Feener menyebutkan:

“...such as the Persatuan Ulama-Ulama Seluruh Aceh (PUSA) wich was founded in 1939 by Muhammad Daud Beureu’eh. This organization eventually evolved into a full-blown separatist movement, developing alongside other Islamic separatist movement that were at that time underway elsewhere in the archipelago: in West Java, South Kalimantan and South Sulawesi.[19]

Sentimen terhadap PUSA tidak hanya terjadi di Aceh tetapi menjadi isu yang masuk ke parlemen tingkat nasional. Sarwono yang merupakan salah satu anggota fraksi PKI di DPR menyatakan bahwa PUSA dibentuk oleh Belanda melalui kaki tangan nya dengan tujuan menentang kehadiran Muhammadiyah di Aceh. Sarwono sebenarnya mengetahui bahwa PUSA adalah organisasi yang aktif bergerak mengusir Belanda, karena dia pernah tinggal di Aceh. Tetapi karena kebenciannya terhadap ulama, ia membalikkan fakta supaya forum di parlemen mempersepsikan PUSA sebagai musuh.[20]

Setelah pembenahan organisasi berjalan lancar, PUSA mulai menjalankan programnya. Setidaknya ada 3 program utama yang diluncurkan oleh PUSA untuk memperbaiki kondisi masyarakat Aceh. Mahmud Yunus dengan mengutip salinan surat pertama Pengurus Besar PUSA menyebutkan bahwa tujuan organisasi ini adalah:  pertama menyiarkan, menegakan dan mempertahankan syiar agama Islam yang suci, kedua mempersatukan paham ulama Aceh tentang hukum Islam, ketiga Memperbaiki dan mempersatukan rencana pengajaran madrasah-madrasah di seluruh Aceh. Dalam salinan surat itu juga disebutkan bahwa PUSA bukanlah organisasi politik.[21]  

Tujuan organisasi PUSA sebagaimana tersebut di atas disosialisasi kepada seluruh masyarakat supaya masyarakat mendapatkan informasi yang sempurna dan utuh. Untuk itu PUSA menerbitkan majalah Penjuluh yang merupakan media untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Tokoh-tokoh PUSA menuangkan ide mereka untuk memompa semangat masyarakat untuk berjuang melawan penjajah Belanda baik melalui jalur politik maupun melalui jalur pendidikan. Selain itu secara pribadi ada sebagian tokoh yang menerbitkan buletin yang berisi ide-ide perjuangan kemerdekaan.[22]

Walaupun bukan organisasi politik namun PUSA merupakan pelopor perjuangan kemerdekaan. Kesatuan ulama yang telah terbentuk memudahkan masyarakat Aceh untuk digerakkan dalam barisan laskar yang nantinya menjadi motor penggerak perjuangan kemerdekaan. Untuk menciptakan laskar militan PUSA membentuk Kasysyafatul Islam. Kwartir Besar Kasysyafatul Islam (Kepanduan Islam) ini berkedudukan di Bireuen dengan Abdul Ghani Usman (Ayah Gani) sebagai ketua.[23] Hampir semua pelajar dari semua madrasah di bawah naungan PUSA menyatakan mendukung dan menjadi anggota. Kasysyafatul Islam dididik dengan latihan semi militer supaya mampu berkiprah dalam perjuangan. Melalui pendidikan dan pelatihan ini lahir tunas muda dengan jiwa cinta tanah  air dan memiliki semangat kemerdekaan, pelopor pejuang kemerdekaan. Menjelang akhir masa kekuasaan Belanda di Indonesia anggota Kasysyafatul Islam mendekati 50 ribu orang.[24]

Ketika masyarakat Aceh sedang menyusun kesatuan untuk berjuan melawan penjajah, pada saat itu pula Belanda dikalahkan oleh sekutu dalam perang dunia pertama. Mendengar hal tersebut maka pada bulan April 1940 PUSA mengadakan rapat rahasia untuk membahas strategi pengusiran Belanda dari Aceh. Salah satu keputusan yang diambil dalam rapat tersebut adalah menugaskan Said Abu Bakar-seorang guru yang brilian dan energik – untuk berjumpa dengan Jepang yang bermarkas di Kuala Lumpur, dengan misi menjalin kerjasama mengusir Belanda dari Aceh. Mayor Fujiwara Iwaichi yang merupakan anggota Dinas Intelijen Jepang tidak keberatan dengan permintaan Abu Bakar tersebut.[25]

Untuk mewujudkan kerjasama Fujiwara meminta kepada Abu Bakar untuk memastikan bahwa kehadiran  mereka di Aceh tidak disambut dengan senjata. Jepang juga meminta supaya di Aceh dibentuk organisasi penghubung, di mana anggotanya menggunakan armband F (Fujiwara) yang bertugas merebut hati rakyat Aceh agar mendukung Jepang, menjaga jembatan-jembatan dan instalasi-instalasi vital dari bumi hangus Belanda, serta menyediakan perbekalan dan bantuan untuk  pasukan Jepang.  Para ulama menyetujui semua permintaan yang diajukan oleh Jepang tanpa mengajukan syarat. Tokoh PUSA hanya menginginkan supaya Jepang menghormati kehidupan masyarakat Aceh yang kental dengan nilai agama.[26]

Jepang disambut dengan baik di Aceh sebagai Saudara Tua Bangsa Asia, yang nantinya sama-sama mengusir Belanda dari wilayah Asia. Jaringan spionase Fujiwara-Kikan dibentuk dengan segera dan siap menyambut pendaratan pasukan Jepang.[27] Namun sambutan hangat yang diberikan PUSA kepada Jepang bukan jaminan masyarakat Aceh akan diperlakukan secara  baik. Jepang tidak hanya mengabaikan organisasi para ulama tetapi juga tidak memperhatikan kehidupan beragama di Aceh. Jepang juga mempunyai pandangan yang negatif terhadap semangat anti penjajahan yang ada dalam diri para ulama. Dengan alasan ini Jepang mulai memberi peran kepada ulee balang dalam pemerintahan. Mereka menempati posisi staf dan dewan penasehat berdampingan dengan para ulama.  Kondisi ini menyebakan para ulama-secara politik- mulai menjaga jarak dengan Jepang. Hubungan tidak harmonis ini menyebabkan pemerintah Jepang tidak lagi menghargai kearifan budaya lokal dan mulai menjalankan pemerintahan secara brutal. Para ulama dan masyarakat semakin sadar bahwa Jepang adalah bangsa barbar yang datang ke Aceh sebagai penjajah. Revolusi pertama melawan Jepang pecah di Bayu Lhok Seumawe dibawah pimpinan ulama muda Teungku Abdul Jalil. Gerakan ini tidak hanya menyatakan perang dengan Jepang tetapi mendeklarasikan perlawanan terhadap pengikut-pengikut PUSA karena merupakan pendukung Jepang. Sejak saat itu Jepang mulai membatasi pergerakan PUSA dalam bidang politik. PUSA disejajarkan dengan Muhammadiyah yang hanya beraktivitas dalam bidang keagamaan.[28]    

 



[1]Ismuha, “Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah” Dalam Agama Dan Perubahan Sosial, Taufiq Abdullah (ed) ((Jakarta : Rajawali Pers, 1996), hal. 56-57

[2]Ismuha, “Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap”  Dalam Mimbar Ulama, No 3 (Jakarta : MUI, 1976), hal. 55. dan SM. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh (Jakarta: Soeroengan, 1956), hal. 11.

[3]Ismuha, “Teungku Abdurrahman Meunasah...”, hal 55-56.

[4]Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak: Bertarung untuk Kepentingan Bangsa dan Bersabung untuk Kepentingan Daerah (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hal. 17 dan Ismuha, “Teungku Abdurrahman Meunasah..., hal. 56. 

[5]Ismuha, Pengaruh PUSA Terhadap Reformasi Di Aceh (Banda Aceh: Lembaga Research Dan Survei IAIN Ar Raniry, 1978), hal 27.

[6]Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak:..., hal. 17. dan  Ismuha, Pengaruh PUSA Terhadap..., hal 27

[7]Ismuha, “Teungku Abdurrahman Rahman...”, hal. 55-56.

[8]E Nugroho, Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta : Cipta Adi Pusaka, 1990) Jilid 13 hal 143 dan Ismuha, “Ulama Aceh Dalam...”, hal. 60.

[9]Ismuha, (Ed) Pengaruh PUSA Terhadap....., hal. 29.

[10]Mahyidin Yusuf, “Pendidikan Agama Di Aceh Dalam Pembangunan” Dalam Badruzzaman Ismail, (ed), Perkembangan Pendidikan Islam Di Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh : Majelis Pendidikan Daerah, 1995) hal. 168. 

 

[11]A.J. Piekaar, Aceh En De Oorlog Met Japan, Terj. Aboe Bakar Aceh, Aceh Dan Peperangan Dengan Jepang (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh, 1998), hal. 40. 

[12]A.J Piekar, Aceh En De ..., hal. 31.

[13]Darul Aqsha, Kiai Haji Mas Mansur (1896-1946): Perjuangan dan Pemikiran (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 142.

[14]Ali Hasjmy, 50 Tahun Aceh Membangun (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1995), hal.73

[15]Ismuha, “Ulama Aceh Dalam...”, hal. 60. 

[16]Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak...,hal. 18.

[17]Ali Hasjimy, 50 Tahun Aceh..., hal. 74.  

[18]B.J. Boland, The Struggle of Islam Modern Indonesia (Laide: Nijhoff, 1971),  hal. 69.

[19]Anna Gade dan R.Michael Feener, “Muslim Thought and Practise in Contemporary Indonesia” dalam R.Michael Feener, (ed), Islam in World Culture: Comparative Perspectives (California: ABC-CLIO, 2004), hal. 196.

[20]Ismuha, “Ulama Aceh Dalam...”, hal. 61.

[21]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), hal. 178 dan  Ismuha, “Ulama Aceh Dalam...”, hal. 58-59.

[22]Anthony Reid, The Blood Of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1979), hal. 27.

[23]M. Isa Sulaiman (ed), Hikayat Prang Cumbok: Fungsinya Sebagai Karya Sastra dan Sumber Sejarah Aceh (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1990), hal. 27.

[24]Ali Hasyimi, 50 Tahun Aceh Membangun (Banda Aceh: 1995), hal. 75.  

[25]Maulwi Saelan, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66 (Jakarta: Visi Media,2008 ), hal. 26.

[26]Anthoniy Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra (Singapure: Singapore University Press, 2005), hal. 285. 

[27]Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 31. Gerakan Fujiwara Kikan yang juga dikenal dengan gerakan F bisa terbentuk dengan cepat tidak hanya dilandasi oleh penyambutan Jepang namun, namun lebih kepada upaya untuk segera mengusir Belanda dari Aceh. Hal ini terlihat dari perlawanan yang dilakukan oleh Pemuda PUSA di bawah payung Gerakan F terhadap penguasa Belanda di Seulimum pada bulan Februari 1942.  Peristiwa di Seulimuem ini memicu gerakan perlawanan terhadap Belanda di seluruh Aceh. Lihat A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah (Jakarta: Beuna, 1983),  hal. 468.

[28]Fritz Schulze, “From Colonial Times to Revolution and Integration” dalam Arndt Graf, Susanne Schroter dan Edwin Wieringa, Aceh: History,Politic adn Culture (Pasir Panjang: ISEAS Publishing, 2010), hal. 67. 

Post a Comment for "PERSATUAN ULAMA SELURUH ACEH: BACKGROUND DAN TUJUAN"