PERSATUAN ULAMA SELURUH ACEH: BACKGROUND DAN TUJUAN
Setelah
Perang Aceh usai, ulama yang tidak
syahid di medan perang berusaha menghidupkan kembali dayah-dayah yang ditinggalkan sebelumnya. Namun proses belajar
mengajar tidak berlangsung secara maksimal karena Belanda menerapkan kebijakan
pendidikan yang ketat. Belanda membatasi kurikulum pendidikan dayah, sehingga lembaga pendidikan ini
tidak bisa dikembangkan secara maksimal. Selain itu aktivitas para ulama juga
selalu diawasi oleh Belanda. Sehingga mereka tidak bisa menjalin komunikasi
satu sama lain. Mereka bergerak dengan metode dan pola sendiri dalam
mengembangkan umat, sehingga memunculkan ketidaksamaan gerak yang berimbas pada
kesatuan para ulama. Hal ini diperparah dengan munculnya masalah-masalah
khilafiah, di mana antara satu ulama dengan ulama lain memberikan fatwa berbeda
sehingga melahirkan disintegrasi di tengah-tengah masyarakat.[1]
Untuk
menghindari perpecahan yang lebih besar maka Teungku Abdurrahman Meunasah
Meucap memandang perlu dibentuknya sebuah organisasi yang menyatukan para
ulama, sehingga mereka dapat menyatukan visi serta bersama-sama menyelesaikan
berbagai persoalan umat. Pemikiran Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap ternyata
senada dengan Teungku Ismail Ya’qub, direktur Madrasah Bustanul Ma’arif di
Blang Jruen. Hal ini diketahui oleh
Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dalam sebuah diskusi yang
berlangsung pada saat perayaan maulid yang berlangsung di Blang Jruen, di mana
Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap menjadi penceramah. Untuk membicarakan hal
ini lebih lanjut Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap meminta Teungku Ismail
Ya’qub untuk datang ke kota Matang Geulumpang Dua[2].
Sebelum
Teungku Ismail Ya’qub datang, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap telah
mendiskusikan permasalahan organisasi ulama tersebut dengan tokoh-tokoh dan ulama
di Matang Geulumpang Dua. Mereka umumnya menyambut dengan antusias ide yang
ditawarkan oleh Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap tersebut. Hal ini
mendorongnya untuk segera merealisasikan hadirnya sebuah organisasi yang
menjadi payung pergerakan para ulama. Ulama di Matang Geulumpang Dua terutama
yang tergabung dalam organisasi Al Muslim segera mengambil langkah-langkah
lebih lanjut serta mempersiapkan diri terbentuknya organisasi ini.[3].
Ketika
Teungku Ismail Ya’qub datang ke Matang Geulumpang Dua, ia mendapat laporan
bahwa semua ulama di Peusangan menyetujui apa yang ingin mereka diwujudkan.
Namun Teuku Haji Chiek M Johan Alamsyah selaku penguasa zelfbestuurder Peusangan tidak berani memberi izin pelaksanaan
musyawarah di wilayahnya karena pertemuan tersebut dihadiri oleh ulama dari
seluruh Aceh. Ia menyarankan supaya penggagas pertemuan para ulama mengajukan
izin secara langsung kepada Residen Aceh di Kutaraja. Setelah melalui proses
negosiasi dengan pihak penguasa Residen Aceh melalui Tuanku Mahmud mengizinkan
pelaksanaan musyawarah ulama di Matang Geulumpang Dua.[4]
Setelah
surat izin keluar, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap segera mengundang ulama
dan tokoh yang ada di Peusangan. Semua elemen masyarakat termasuk siswa
Madrasah Al Muslim ikut terlibat dalam pembentukan Panitia Musyawarah Alim
Ulama Seluruh Aceh. Dalam rapat pembentukan panitia,Teungku Abdurrahman
Meunasah Meucap terpilih sebagai ketua panitia. Selain itu dalam pertemuan
tersebut juga diputuskan bahwa pelaksanaan musyawarah akan dilaksanakan
bertepatan dengan pelaksanaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, tanggal 5 Mei
1939 M di Madrasah Al Muslim Peusangan Matang Geulumpang Dua Kabupaten Bireuen.
Panitia musyawarah segera menyiapkan surat undangan kepada ulama di seluruh
Aceh.[5]
Pada
tanggal 12-15 Rabiul Awal 1358 H, bertepatan dengan 5-8 Mei 1939 berlangsunglah
Musyawarah Besar Alim Ulama seluruh Aceh bertempat di halaman Madrasah Al
Muslim Peusangan Bireuen. Musyawarah berlangsung dalam suasana yang meriah.
Masyarakat berbondong-bondong datang ke Kota Matang Geulumpang Dua untuk
menyaksikan dan memeriahkan acara tersebut. Terlihat dengan jelas partisipasi
aktiv dan rasa simpati seluruh lapisan masyarakat. Konsumsi peserta ditanggung
oleh masyarakat di sekitar Matang Geulumpang Dua secara bergilir. Untuk
penginapan para peserta tinggal di ruang belajar Madrasah Al Muslim dan
sebagian lagi ditempatkan di rumah-rumah tokoh masyarakat. Bahkan Teuku Ampon
Chiek Peusangan membuka lebar-lebar rumahnya sebagai tempat tinggal para
peserta musyawarah.[6]
Dalam
musyawarah hari pertama, Teungku Ismail Ya’qub memberi penjelasan panjang lebar mengenai ide Teungku
Abdurrahman Meunasah Meucap tentang perlunya sebuah organisasi ulama. Sedangkan
Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap melobi para peserta untuk memilih Teungku
Muhammad Daud Beureueh menjadi ketua. Pada hari itu juga, secara aklamasi
seluruh peserta menyetujui pembentukan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).
Sehingga pada hari itu, tanggal 12 Rabiul Awal 1358 hijriah atau 5 Mei 1939
ditetapkan sebagai hari lahir PUSA.[7]
Dalam Musyawarah Besar yang
berlangsung selama empat hari, tokoh-tokoh PUSA berhasil menyusun Hoodf Bestuur (Pengurus Besar) dengan
komposisi :
Ketua I :
Teungku Muhammad Daud Beureueh
Ketua
II : Teungku Abdurrahman
Meunasah Meucap
Setia
Usaha I : Teungku Muhammad Nur El
Ibrahimy
Setia Usaha II : Teungku Ismail Ya’qub
Bendahara : Teungku Muhammad Amin
Komisaris : Teungku
Abdul Wahab Keunaloe Seulimum
:
Teungku Abdul Hamid Samalanga
:
Teungku Utsman Lampoh Awe
:
Teungku Yahya Baden Peudada
:
Teungku Mahmud Simpang Ulim
:
Teungku Ahmad Damanhury Takengon
:
Teungku Muhammad Daud Peudada di Langsa
:
Teungku Utsman Aziz[8]
Teuku
Haji Chiek Muhammad Johan Alamsyah ditetapkan sebagai pelindung PUSA karena
jasa dan perhatian yang sangat besar terhadap kegiatan ini. Panitia Musyarah
dan Pengurus PUSA yang baru terbentuk melobi supaya ia bersedia menduduki
posisi yang telah diamanatkan tersebut. Pada awalnya ia tidak bersedia, tetapi
setelah didesak oleh semua pihak maka jabatan itu akhirnya diterima.[9]
Para
Ulama yang tergabung dalam organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh - terutama
pengurus inti - adalah para pejuang, pendidik dan pemimpin ummat yang
berpikiran maju yang mampu membaca tanda-tanda zaman. Mereka adalah tokoh-tokoh
yang memandang bahwa ilmu pengetahuan modern adalah hal yang penting untuk
mencerdaskan masyarakat dan menggapai kemerdekaan. Mereka mempunyai wawasan dan
pandangan bahwa masyarakat harus dibebaskan dari berbagai tekanan dan perlakuan
penjajah; dari tindakan-tindakan tidak adil dari kaum elit feodal serta
diarahkan untuk mengamalkan nilai Islam sesuai dengan nash Al Qur’an dan
hadits.[10]
Setelah
organisasi terbentuk maka segenap pengurus mengupayakan pemberdayaan internal
organisasi. Hal pertama yang dilakukan adalah menjadikan kota Sigli sebagai
pusat pergerakan PUSA karena Ketua I dan Setia Usaha I berdomisili di sana.
Selanjutnya peserta musyawarah segera mensosialisasikan dan langsung membentuk
cabang-cabang PUSA di seluruh daerah. Pembentukan cabang organisasi ini tidak
mengalami hambatan yang berarti karena tidak ada oposisi yang menentang. Bahkan
di beberapa daerah uleebalang ikut
membantu pembentukan cabang PUSA di wilayah kekuasaan mereka dan ada di antara
mereka yang menjadi penasihat PUSA. Dalam hal ini Piekaar mengatakan :...”
banyak uleebalang yang mengerti dan
bersikap baik terhadap PUSA, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi
penasehat di daerah masing-masing.[11]
Dalam
waktu yang tidak terlalu lama terbentuklah cabang PUSA disetiap wilayah,
sehingga dalam waktu satu tahun seluruh Aceh telah di “PUSAkan”. Hal ini bisa
terwujud karena seluruh ulama di daerah bisa diyakinkan dan diajak bergabung oleh ulama yang menjadi peserta musyawarah.
Sebagian besar ulama tokoh dari kalangan tua dan pemuda, baik yang konservatif
dan moderat dengan penuh semangat bergabung dengan PUSA. Organisasi PUSA
merangkul semua elemen dalam membangun dan memajukan masyarakat.[12]
Selain membuka cabang PUSA juga menyatakan diri bergabung dengan MIAI (Majelis
Islam A’laa Indonesia)-induk dari beberapa organisasi Islam di Indonesia. Hal
ini terjadi pada tahun 1942 karena adanya kesamaan visi dengan organisasi yang
telah terlebih dahulu bergabung.[13]
PUSA
tidak memusuhi ulee balang atau kaum
bangsawan, yang menjadi musuh PUSA adalah Belanda dan kaki tangan mereka yang
menindas rakyat.[14]
Namun ada juga yang memandang bahwa PUSA adalah organisasi yang ingin
mengembalikan sistem Kesultanan Aceh semisal Teuku Cut Hasan yang menafsirkan
PUSA dengan istilah Persatuan Untuk
Sulthanat Aceh.[15]Tuduhan
mengembalikan kesultanan Aceh hanya sebagai alasan penolakan kalangan feodal
pendukung Belanda atas kehadiran PUSA. Mereka khawatir PUSA akan mengambil alih
peran mereka, sehingga mereka berusaha menghambat perkembangan organisasi ini.
Salah satu cara yang ditempuh adalah menggunakan politik memecah belah. Mereka
merangkul ulama konservatif dan mengarahkan mereka memprovokasi masyarakat
untuk menolak kehadiran PUSA. Kegiatan dak’wah yang dilaksanakan oleh
ulama-ulama pengikut PUSA di intimidasi, sedangkan aktivitas keagamaan yang
dijalankan oleh ulama tradisional didukung penuh oleh pemerintah.[16]
Selain
di Aceh kehadiran PUSA juga disambut dengan antusias oleh para pelajar di
perantauan. Mereka menganggap bahwa PUSA adalah sebuah organisasi yang lahir
dari amanah sidang istimewa komando tertinggi perang gerilya. Kehadiran
organisasi ini segera disosialisasikan kepada kaum terpelajar di provinsi lain
sehingga mereka tertarik untuk mengikuti perjuangan PUSA bahkan hadir dalam
kongres dan pertemuan lainya.[17]
Sebagian
sejarawan beranggapan bahwa pendirian PUSA hanya dilandasi oleh kepentingan politik semata. Hanya
sebagai satu kelompok sosial yang ingin
menghambat atau menyeimbangkan peran ulee
balang dalam masyarakat Aceh. Berkenaan dengan pernyataan di atas B. J
Bolan menyebutkan:
“Colonial authority was established by making use of the
disunity among the uleebalang, and by fitting them into the colonial civil
administration, from that time stemmed the opposition and conflict between the
uleebalangs and ulama, and it was this conflict which would be decisive for
furthe development in Atjeh. In the ulamas were united in PUSA (Persatuan
Ulama-Ulama Seluruh Atjeh, All-Atjeh Ulama Union). At the end of 1945 these
initials came to be used for the slogan Pembasmian Uleebalang-Uleebalang
Seluruh Atjeh, that is, extermination of the uleebalangs of all Atjeh!”.[18]
Sebagian penulis sejarah malah menggambarkan PUSA sebagai
organisasi terlarang, organisasi separatis yang ingin melakukan pemberontakan.
Dengan mengutip Van Dijk, Feener menyebutkan:
“...such as the Persatuan Ulama-Ulama Seluruh Aceh (PUSA)
wich was founded in 1939 by Muhammad Daud Beureu’eh. This organization
eventually evolved into a full-blown separatist movement, developing alongside
other Islamic separatist movement that were at that time underway elsewhere in
the archipelago: in West Java, South Kalimantan and South Sulawesi.[19]
Sentimen
terhadap PUSA tidak hanya terjadi di Aceh tetapi menjadi isu yang masuk ke
parlemen tingkat nasional. Sarwono yang merupakan salah satu anggota fraksi PKI
di DPR menyatakan bahwa PUSA dibentuk oleh Belanda melalui kaki tangan nya
dengan tujuan menentang kehadiran Muhammadiyah di Aceh. Sarwono sebenarnya
mengetahui bahwa PUSA adalah organisasi yang aktif bergerak mengusir Belanda,
karena dia pernah tinggal di Aceh. Tetapi karena kebenciannya terhadap ulama,
ia membalikkan fakta supaya forum di parlemen mempersepsikan PUSA sebagai
musuh.[20]
Setelah
pembenahan organisasi berjalan lancar, PUSA mulai menjalankan programnya.
Setidaknya ada 3 program utama yang diluncurkan oleh PUSA untuk memperbaiki
kondisi masyarakat Aceh. Mahmud Yunus dengan mengutip salinan surat pertama
Pengurus Besar PUSA menyebutkan bahwa tujuan organisasi ini adalah: pertama
menyiarkan, menegakan dan mempertahankan syiar agama Islam yang suci, kedua mempersatukan paham ulama Aceh
tentang hukum Islam, ketiga
Memperbaiki dan mempersatukan rencana pengajaran madrasah-madrasah di seluruh
Aceh. Dalam salinan surat itu juga disebutkan bahwa PUSA bukanlah organisasi
politik.[21]
Tujuan
organisasi PUSA sebagaimana tersebut di atas disosialisasi kepada seluruh
masyarakat supaya masyarakat mendapatkan informasi yang sempurna dan utuh.
Untuk itu PUSA menerbitkan majalah Penjuluh yang merupakan media untuk
menyampaikan informasi kepada masyarakat. Tokoh-tokoh PUSA menuangkan ide
mereka untuk memompa semangat masyarakat untuk berjuang melawan penjajah
Belanda baik melalui jalur politik maupun melalui jalur pendidikan. Selain itu
secara pribadi ada sebagian tokoh yang menerbitkan buletin yang berisi ide-ide
perjuangan kemerdekaan.[22]
Walaupun
bukan organisasi politik namun PUSA merupakan pelopor perjuangan kemerdekaan.
Kesatuan ulama yang telah terbentuk memudahkan masyarakat Aceh untuk digerakkan
dalam barisan laskar yang nantinya menjadi motor penggerak perjuangan
kemerdekaan. Untuk menciptakan laskar militan PUSA membentuk Kasysyafatul
Islam. Kwartir Besar Kasysyafatul Islam (Kepanduan Islam) ini berkedudukan di
Bireuen dengan Abdul Ghani Usman (Ayah Gani) sebagai ketua.[23] Hampir semua pelajar dari
semua madrasah di bawah naungan PUSA menyatakan mendukung dan menjadi anggota.
Kasysyafatul Islam dididik dengan latihan semi militer supaya mampu berkiprah
dalam perjuangan. Melalui pendidikan dan pelatihan ini lahir tunas muda dengan
jiwa cinta tanah air dan memiliki
semangat kemerdekaan, pelopor pejuang kemerdekaan. Menjelang akhir masa
kekuasaan Belanda di Indonesia anggota Kasysyafatul Islam mendekati 50 ribu
orang.[24]
Ketika
masyarakat Aceh sedang menyusun kesatuan untuk berjuan melawan penjajah, pada
saat itu pula Belanda dikalahkan oleh sekutu dalam perang dunia pertama.
Mendengar hal tersebut maka pada bulan April 1940 PUSA mengadakan rapat rahasia
untuk membahas strategi pengusiran Belanda dari Aceh. Salah satu keputusan yang
diambil dalam rapat tersebut adalah menugaskan Said Abu Bakar-seorang guru yang
brilian dan energik – untuk berjumpa dengan Jepang yang bermarkas di Kuala
Lumpur, dengan misi menjalin kerjasama mengusir Belanda dari Aceh. Mayor
Fujiwara Iwaichi yang merupakan anggota Dinas Intelijen Jepang tidak keberatan
dengan permintaan Abu Bakar tersebut.[25]
Untuk
mewujudkan kerjasama Fujiwara meminta kepada Abu Bakar untuk memastikan bahwa
kehadiran mereka di Aceh tidak disambut
dengan senjata. Jepang juga meminta supaya di Aceh dibentuk organisasi
penghubung, di mana anggotanya menggunakan armband
F (Fujiwara) yang bertugas merebut hati rakyat Aceh agar mendukung Jepang,
menjaga jembatan-jembatan dan instalasi-instalasi vital dari bumi hangus
Belanda, serta menyediakan perbekalan dan bantuan untuk pasukan Jepang. Para ulama menyetujui semua permintaan yang
diajukan oleh Jepang tanpa mengajukan syarat. Tokoh PUSA hanya menginginkan
supaya Jepang menghormati kehidupan masyarakat Aceh yang kental dengan nilai
agama.[26]
Jepang
disambut dengan baik di Aceh sebagai Saudara Tua Bangsa Asia, yang nantinya sama-sama
mengusir Belanda dari wilayah Asia. Jaringan spionase Fujiwara-Kikan dibentuk
dengan segera dan siap menyambut pendaratan pasukan Jepang.[27] Namun sambutan hangat yang
diberikan PUSA kepada Jepang bukan jaminan masyarakat Aceh akan diperlakukan
secara baik. Jepang tidak hanya
mengabaikan organisasi para ulama tetapi juga tidak memperhatikan kehidupan
beragama di Aceh. Jepang juga mempunyai pandangan yang negatif terhadap
semangat anti penjajahan yang ada dalam diri para ulama. Dengan alasan ini Jepang
mulai memberi peran kepada ulee balang
dalam pemerintahan. Mereka menempati posisi staf dan dewan penasehat
berdampingan dengan para ulama. Kondisi
ini menyebakan para ulama-secara politik- mulai menjaga jarak dengan Jepang.
Hubungan tidak harmonis ini menyebabkan pemerintah Jepang tidak lagi menghargai
kearifan budaya lokal dan mulai menjalankan pemerintahan secara brutal. Para
ulama dan masyarakat semakin sadar bahwa Jepang adalah bangsa barbar yang
datang ke Aceh sebagai penjajah. Revolusi pertama melawan Jepang pecah di Bayu
Lhok Seumawe dibawah pimpinan ulama muda Teungku Abdul Jalil. Gerakan ini tidak
hanya menyatakan perang dengan Jepang tetapi mendeklarasikan perlawanan
terhadap pengikut-pengikut PUSA karena merupakan pendukung Jepang. Sejak saat
itu Jepang mulai membatasi pergerakan PUSA dalam bidang politik. PUSA
disejajarkan dengan Muhammadiyah yang hanya beraktivitas dalam bidang
keagamaan.[28]
[1]Ismuha, “Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah”
Dalam Agama Dan Perubahan Sosial,
Taufiq Abdullah (ed) ((Jakarta : Rajawali Pers, 1996), hal. 56-57
[2]Ismuha, “Teungku Abdurrahman Meunasah
Meucap” Dalam Mimbar Ulama, No 3 (Jakarta : MUI, 1976), hal. 55. dan SM. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh
(Jakarta: Soeroengan, 1956), hal. 11.
[3]Ismuha, “Teungku Abdurrahman Meunasah...”, hal
55-56.
[4]Hasan Saleh, Mengapa
Aceh Bergolak: Bertarung untuk Kepentingan Bangsa dan Bersabung untuk
Kepentingan Daerah (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hal. 17 dan
Ismuha, “Teungku Abdurrahman Meunasah..., hal. 56.
[5]Ismuha, Pengaruh
PUSA Terhadap Reformasi Di Aceh (Banda Aceh: Lembaga Research Dan Survei
IAIN Ar Raniry, 1978), hal 27.
[6]Hasan Saleh, Mengapa
Aceh Bergolak:..., hal. 17. dan
Ismuha, Pengaruh PUSA Terhadap...,
hal 27
[7]Ismuha, “Teungku Abdurrahman Rahman...”, hal.
55-56.
[8]E Nugroho, Ensiklopedi
Nasional Indonesia (Jakarta : Cipta Adi Pusaka, 1990) Jilid 13 hal 143 dan
Ismuha, “Ulama Aceh Dalam...”, hal. 60.
[9]Ismuha, (Ed) Pengaruh
PUSA Terhadap....., hal. 29.
[10]Mahyidin Yusuf, “Pendidikan Agama Di Aceh Dalam
Pembangunan” Dalam Badruzzaman Ismail, (ed), Perkembangan Pendidikan Islam Di Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh :
Majelis Pendidikan Daerah, 1995) hal. 168.
[11]A.J. Piekaar, Aceh En De Oorlog Met Japan, Terj. Aboe Bakar Aceh, Aceh Dan Peperangan Dengan Jepang (Banda
Aceh: Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh, 1998), hal. 40.
[12]A.J Piekar, Aceh
En De ..., hal. 31.
[13]Darul Aqsha, Kiai
Haji Mas Mansur (1896-1946): Perjuangan dan Pemikiran (Jakarta: Erlangga,
2005), hal. 142.
[14]Ali Hasjmy, 50
Tahun Aceh Membangun (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh,
1995), hal.73
[15]Ismuha, “Ulama Aceh Dalam...”, hal. 60.
[16]Hasan Saleh, Mengapa
Aceh Bergolak...,hal. 18.
[17]Ali Hasjimy, 50
Tahun Aceh..., hal. 74.
[18]B.J. Boland, The
Struggle of Islam Modern Indonesia (Laide: Nijhoff, 1971), hal. 69.
[19]Anna Gade dan R.Michael Feener, “Muslim Thought
and Practise in Contemporary Indonesia” dalam R.Michael Feener, (ed), Islam in World Culture: Comparative
Perspectives (California: ABC-CLIO, 2004), hal. 196.
[20]Ismuha, “Ulama Aceh Dalam...”, hal. 61.
[21]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber
Widya, 1995), hal. 178 dan Ismuha,
“Ulama Aceh Dalam...”, hal. 58-59.
[22]Anthony Reid, The Blood Of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in
Northern Sumatra (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1979), hal. 27.
[23]M. Isa Sulaiman (ed), Hikayat Prang Cumbok: Fungsinya Sebagai Karya Sastra dan Sumber Sejarah
Aceh (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1990), hal. 27.
[24]Ali Hasyimi, 50
Tahun Aceh Membangun (Banda Aceh: 1995), hal. 75.
[25]Maulwi Saelan, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta
66 (Jakarta: Visi Media,2008 ), hal. 26.
[26]Anthoniy Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra
(Singapure: Singapore
University Press, 2005), hal. 285.
[27]Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 31.
Gerakan Fujiwara Kikan yang juga dikenal dengan gerakan F bisa terbentuk dengan
cepat tidak hanya dilandasi oleh penyambutan Jepang namun, namun lebih kepada
upaya untuk segera mengusir Belanda dari Aceh. Hal ini terlihat dari perlawanan
yang dilakukan oleh Pemuda PUSA di bawah payung Gerakan F terhadap penguasa
Belanda di Seulimum pada bulan Februari 1942.
Peristiwa di Seulimuem ini memicu gerakan perlawanan terhadap Belanda di
seluruh Aceh. Lihat A. Hasjmy, Kebudayaan
Aceh Dalam Sejarah (Jakarta: Beuna, 1983),
hal. 468.
[28]Fritz Schulze, “From Colonial Times to Revolution and Integration” dalam Arndt Graf, Susanne Schroter dan Edwin Wieringa, Aceh: History,Politic adn Culture (Pasir Panjang: ISEAS Publishing, 2010), hal. 67.
Post a Comment for "PERSATUAN ULAMA SELURUH ACEH: BACKGROUND DAN TUJUAN"