NORMAL ISLAM INSTITUT: SEKOLAH GURU PERTAMA
Ketika melakukan reformasi kurikulum pendidikan, PUSA mengalami
berbagai kendala. Kendala utamanya adalah susahnya menemukan guru yang
berkualitas, yang mampu mengajar pengetahuan agama dan umum. Untuk mengatasi
hal itu PUSA mencoba mendirikan NII (Normal Islam Institut).[1]Lembaga
pendidikan ini didirikan untuk mencetak dan membina para pendidik yang
mempunyai visi sebagai mana tertuang dalam asas PUSA.[2]PUSA menunjuk Teungku
Muhammad Nur El Ibrahimy, lulusan Universitas Al Azhar Cairo sebagai direktur
lembaga pendidikan ini. Supaya lebih fokus dalam bertugas, jabatan Setia Usaha
I (sekretaris ) PUSA yang selama ia ampu diserahkan kepada Teungku Muhammad
Amin yang sebelunya menjabat sebagi bendahara. Jabatan bendahara selanjutnya
dipegang oleh Teungku Haji Mustafa
Mustafa Ali. Teuku Chiek Johan Alamsyah dipercaya untuk menjadi
pelindung lembanga pendidikan ini.[3]Untuk
lokasi pendirian Normal Islam Institut diusulkan dua tempat, yaitu : Bireuen
dan Seulimuem. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, baik saran dari
Pengurus PUSA maupun usulan dari masyarakat maka akhirnya Bireuen dipilih
sebagai lokasi sekolah Normal Islam Institut. Untuk merealisasi berdirinya
Perguruan Islam tersebut dibentuk dewan penyantun yang diketuai oleh Teungku
Abdurrahman Meunasah Meucap.
Normal
Islam Institut mulai beroperasi pada tanggal 15 Desember 1939. Brosur dikirim
keberbagai wilayah untuk menjaring putra-putra terbaik Aceh yang akan dididik
menjadi obor bagi masa depan Aceh. Staf pengajar pertama adalah Teungku Muhammad
Nur El Ibrahimy; merangkap sebagai direktur yang mengajarkan ilmu agama, bahasa
Arab dan ilmu pendidikan, serta Meneer Muhammad yang mengajar ilmu umum, bahasa
Belanda dan bahasa Inggris.[4]
Walaupun hanya memiliki dua orang guru namun Normal Islam Institut mampu
melahirkan kaum terpelajar yang menjadi tokoh besar dikemudian hari. Hal ini
disebabkan oleh perhatian pengurus PUSA yang tidak hanya menyediakan ruang
belajar dan bantuan dana tetapi juga memberikan kontribusi besar dalam proses
belajar mengajar termasuk menyusun kurikulum yang diterapkan di lembaga
pendidikan tersebut.[5]
Ketika
Belanda mengetahui bahwa yang menjadi direktur Normal Islam Institut adalah
Teungku Muhammad Nur El Ibrahimy, maka mereka melarang pengoperasian NII
dilanjutkan. Hal ini disebabkan sang direktur baru saja menghabiskan waktu
larangan mengajar di Madrasah Nahdatul Islam (MADNI) di Idi. Mengahdapi
larangan tersebut Pengurus Besar PUSA segera mengadakan rapat yang mengambil
kebijakan pembentukan tim kecil yang terdiri dari Teungku Muhammad Daud
Beureueh dan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap harus menghadap Asisten
Residen Aceh Utara untuk mengklarifikasi larangan yang diberlakukan. Residen
Tidak keberatan dengan catatan Teuku Haji Chiek Johan Alamsyah selaku zelfbestuurder Peusangan mau menjamin
bahwa tidak akan terjadi apa-apa bila NII beroperasi. Menjelang pembukaan, calon pelajar telah datang dari seluruh
penjuru Aceh, bahkan dari Minangkabau dan Palembang. Antusiasme masyarakat
terhadap kehadiran NII menambah semangat tokoh-tokoh pendiri NII.
Sesudah
menghadap asisten residen, tim kecil yang sebelunya telah dibentuk segera
menjumpai uleebalang Peusangan untuk
meminta jaminan yang diminta oleh asisten residen. Sesudah melalui proses lobi
yang panjang Teungku Haji Chiek Johan Alamsyah akhirnya mau menjamin keberadaan
NII dengan satu catatan Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Teungku Abdurrahman
Meunasah Meucap mau memberikan jaminan yang sama kepadanya. Akhirnya Normal
Islam Institut resmi dibuka walau terlambat 12 hari dari jadwal yang telah
ditentukan sebelumnya.
Pada
saat pembukaan, telah hadir 57 orang pelajar, 55 berasal dari Aceh, 1 orang
dari Minangkabau dan satu orang lagi berasal dari Palembang.[6]
Peresmian dilakukan di Cot Meurak 1 kilometer dari arah selatan Bireuen. Dewan
penyantun berusaha melengkapi berbagai fasilitas sekolah NII. Karena kegigihan
berbagai pihak, dalam waktu yang tidak terlalu lama NII sudah mempunyai gedung
sendiri di pusat kota Bireuen.
Selain
bertujuan mencetak guru-guru untuk madrasah yang ada di Aceh, Pendirian Normal
Islam Institut juga merupakah salah satu langkah memenuhi amanat Komando
Tertinggi Perang Gerilya, di mana perguruan tinggi harus didirikan untuk
mencetak kader-kader pejuang kemerdekaan. Para pelajar yang menuntut ilmu di
Normal Islam Institut diharapkan menjadi calon-calon mahasiswa di perguruan
tinggi Islam yang akan didirikan tersebut. Rencana pendirian perguruan tinggi
hampir terwujud pada tahun 1944 bila Perang Asia Timur Raya tidak terjadi.[7]
Sebagai
sekolah guru, yang didirikan atas dasar keyakinan para ulama reformis bahwa
melalui pendidikanlah peradaban bangsa Aceh bisa diperbaiki, maka kurikulum Normal Islam Institut didesain
sedemikian rupa dengan harapan lulusan-lulusan dari sekolah ini mempunyai
kemampuan sebagai pendidik di berbagai madrasah yang ada di Aceh. Proses
belajar mengajar yang berlangsung di lembaga pencetak kependidikan ini
berlangsung di bawah pengawasan ketat dari dewan guru dan para supervisor.[8] Secara umun kurikulum Normal Islam Institut
hampir sama dengan kurikulum Normal Islam PGAI Padang. Demikian juga dengan
waktu; setiap siswa baru dikatakan lulus dan memperoleh ijazah bila telah
menempuh pendidikan selama 4 tahun.[9]
Secara lebih rinci kurikulum pendidikan yang digunakan di sekolah ini meliputi
4 kajian yaitu:
1.
Bahasa Arab yang
meliputi, muthala’ah, insya’, tarikh, al adab al arabi,
nahw dan sarf, balaghah, khat, dan mahfuzah
2.
Pelajaran agama yang
meliputi fiqh, tarikh tasyrii’, ushul fiqh, hadits, tafsir dan sejarah Islam.
3.
Ilmu Pendidikan dan Ilmu
Sosial
4.
Bahasa Indonesia Belanda
dan Inggris[10]
Keberadaan
Normal Islam Institut sangat membantu pelajar Aceh untuk mendapatkan pendidikan
lanjutan. Sebelumnya lulusan-lulusan madrasah di Aceh harus melanjutkan
pendidikan keluar daerah, baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini pernah
dialami oleh putra Teungku Daud Beureueh, bernama Hasballah yang harus
melanjutkan ke MULO Muhammadiyah Yogyakarta. Hal yang sama juga dilakukan oleh
Usman Raliby ia harus melanjutkan pendidikan ke Universitas Al Azhar.[11]Selain
itu keberadaan lembaga ini telah mengubah pola pikir masyarakat dalam memahami
berbagai permasalahan. Cara berpikir masyarakat yang kaku, diubah oleh para
pelajar menjadi lebih harmonis dan terbuka.[12]
Sebagai
lembaga yang tumbuh dan berkembang pada masa revolusi Normal Islam Institut
tidak bisa melepaskan diri dari kegiatan
politik. Baik pelajar maupun pengajar ikut berpartisipasi aktif dalam gerakan
perjuangan kemerdekaan. Wujud nyata dari partisipasi tersebut adalah
terbentuknya badan siasah yang bertugas pada divisi intelijen yang mengawasi setiap
orang yang berusaha mengembalikan kekuasaan Belanda di Aceh. Badan ini
berkedudukan di Bireuen yang beranggotakan para pelajar di Normal Islam
Institut.[13]Hemat
penulis kondisi ini menyebabkan proses belajar mengajar di lembaga pendidikan
ini dan berpengaruh besar terhadap kelangsungan lembaga itu sendiri. Kalau kita
melihat lebih jauh maka Normal Islam Institut hanya mampu meluluskan 2
angkatan.[14]Proses
belajar mengajar yang tidak efektif ini semakin diperparah oleh kebijakan
Jepang terhadap pendidikan di Aceh. Muhammad Ibrahim menyebutkan:
“Sesudah Aceh berada di bawah pemerintah militer Jepang
keadaan pendidikan mengalami kemerosotan. Pada masa ini tidak dibenarkan sama
sekali sekolah lanjutan swasta” Hanya ada dua sekolah lanjutan negeri yaitu: Shu
Gakko (sekolah lanjutan lima tahun)....yang kedua adalah Sihang Gakko (Sekolah Guru Tiga Tahun)”.[15]
Apabila Jepang menerapkan kebijakan pendidikan ini secara tegas
maka Normal Islam Institut ikut merasakan imbasnya. Sungguhpun tidak ditutup,
maka selama Jepang berkuasa lembaga ini
tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Proses
Belajar Mengajar yang tidak berlangsung secara efektiv di Normal Islam Institut
tidak mengurangi kualitas lulusan dari lembaga ini. Tekanan-Tekanan yang
dialami oleh Normal Islam Institut baik pada masa Belanda maupun Jepang menjadi
motivator bagi guru dan siswa untuk berpikir dan berkarya. Mendidik jiwa mereka
untuk memikul sebuah tanggung jawab bagaimana melepaskan masyarakat dari
belenggu penjajahan. Tidak seperti pelajar saat ini yang umumnya menuntut ilmu
hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Sehingga hanya mementingkan diri sendiri dan
tidak mau berjuang untuk ummat. Kepekaan jiwa para pelajar di Normal Islam
Institut menyebabkan mereka mampu tampil di tengah-tengah masyarakat sebagai
tokoh-tokoh besar yang masuk ke semua lini kehidupan masyarakat.
Pada
tahun 1946 seiring dengan pengerian berbagai madrasah di Aceh, Normal Islam
Institut diambil alih oleh pemerintah dan dipindahkan ke Banda Aceh. Nama
sekolah ini diubah menjadi Sekolah Guru Islam.[16] Implikasi dari kebijakan
ini adalah berkurangya cakupan kurikulum-secara kualitas maupun kuantitas –
yang menyebabkan standar lulusan dari lembaga pendidikan ini menjadi rendah.
Pemerintah menetapkan bahwa kurikulum lembaga ini sama dengan sekolah menengah
atas lain di Indonesia. Keterlibatan aktif PUSA dalam lembaga tersebut menurun
secara perlahan setelah pemerintah mengambil alih lembaga tersebut.[17]
Siswa
yang belajar di Sekolah Guru Islam berasal dari seluruh Aceh. Oleh karena ini
sekolah ini dirancang seperti boarding
school (sekolah asrama). Pada tahun 1950 200 pelajar tinggal di asrama
dengan bea siswa ikatan dinas. Mereka dididik secara disiplin di bawah
pengawasan pengasuh. Guru yang mengajar di Sekolah Guru Islam harus menunjukkan
moral dan sikap yang baik, karena pendidikan akhlak merupakan ciri khas di
lembaga pendidikan ini.[18]
[1]Mahyidin Yusuf, “Pendidikan Agama Di Aceh Dalam
Pembangunan” Dalam Badruzzaman Ismail, (ed), Perkembangan Pendidikan Islam Di Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh :
Majelis Pendidikan Daerah, 1995), hal. 170.
[2]A.J Piekar, Aceh
En De Oorlog Met Japan, Terj. Aboe Bakar Aceh, Aceh Dan Peperangan Dengan Jepang (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi
Dan Informasi Aceh, 1998),
hal. 31.
[3]Eric Morris Eugene, Islam and Politict In Aceh: A Study of Center-Periphery Relations In
Indonesia (Michigan: University Microfilms Internasional, 1984), hal. 89.
[4]Ismuha, Pengaruh PUSA Terhadap..., hal. 61.
[5]Hamdiah Latif, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA): Its Contributions to Educational
Reforms in Aceh,(tesis) (Montreal: McGill University, 1992), hal. 72.
[6]Ismuha, “Lahirnya Persatuan Ulama Seluruh Aceh”
Dalam Sinar Darussalam, No 23 (1970)
hal 47
[7]Ali Hasjmy, 50
Tahun Aceh Membangun (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh,
1995), hal. 75-76.
[8]Yusni Saby, Islam
and Social Change: The Role of the Ulama In Acehnese Society, (Desertasi)
(USA: Temple University, 1995), hal. 99.
[9]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam..., hal. 179 dan Badruzzaman Ismail, “Peranan dan Lembaga...”,
hal. 171.
[10]Hamdiah Latif, Persatuan Ulama Seluruh..., hal. 71.
[11]M. Isa Sulaiman (ed), Hikayat Prang Cumbok: Fungsinya Sebagai Karya Sastra dan Sumber Sejarah
Aceh (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1990), hal 28.
[12]M. Daud Remantan, Pembaharuan Pemikiran di Aceh 1914-1953 (Desertasi) hal. 305.
[13]M. Nur El Ibrahimy, Teungku Daud Beureueh: Peranannya Dalam Pergolakan Di Aceh
(Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal. 139.
[14]Pembukaan Normal Islam Institut tepat dilakukan
pada tanggal 27 Desember 1939, terlambat 12 hari dari jadwal sebelumnya.
Sebelum dipindahkan ke Banda Aceh tahun 1946 maka lembaga ini telah menerima 5
angkatan, dengan durasi belajar 4 tahun maka hanya angkatan I dan II yang
menamatkan pendidikan di lembaga ini.
[15]Muhammad Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Departemen P
dan K, 1991), hal. 187.
[16]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Sejarah Kotamadya Banda Aceh (Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional Banda Aceh, 1997),
hal. 31.
[17]Hamdiah Latif, Persatuan Ulama Seluruh...,hal. 73 dan Baihaqi Ak, Ulama dan
Madrasah”, hal. 170.
[18]Tim Redaksi,
10 Tahun Darussalam dan Hari Pendidikan Propinsi daerah Istimewa Atjeh
(Darussalam: Jajasan Pembina Darussalam, 1969), hal 323-333
Post a Comment for "NORMAL ISLAM INSTITUT: SEKOLAH GURU PERTAMA"