Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap: Pembaharuan Pendidikan Islam Di Bireuen



Lentera Mu. Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap adalah seorang tokoh yang tidak hanya aktif dalam memajukan pendidikan di Aceh tetapi berperan penting dalam gerakan membebaskan masyarakat Aceh dari penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Meunasah Meucap, sebuah desa yang terletak 3 kilometer sebelah Utara kota Matang Geulumpang Dua landschaap Peusangan Karesidenan Bireuen. Ayahnya, Teungku Hanafiah adalah Imuem Gampong Meunasah Meucap. Sejak kecil ia sudah mendapatkan pendidikan Agama dari kedua orang tuanya. Ibunya yang bernama Cut Bayu senantiasa memberikan perhatian terhadap mendidikanya. Tanggal lahir Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap tidak diketahui dengan pasti. Namun sejarawan memperkirakan ia lahir tahun tahun 1900 M.[1]

            Sebagai seorang tokoh agama, Teungku Hanafiah membiasakan anaknya untuk selalu dekat dengan agama. Teungku Abdurrahman ikut bersama anak lain di meunasah belajar membaca Al Qur’an dan mengkaji kitab-kitab jawoe sehingga ia mempunyai pengetahuan agama yang kuat. Kitab-kitab yang dikaji antara lain Masā᾽ilal Muhtadīn, Bidāyah,dan Miftahul Jannah. Kitab-kitab ini adalah kajian “wajib” dalam tradisi pendidikan masyarakat Aceh pada saat itu. Setelah kitab-kitab ini dipahami dan dikuasai, ia meninggalkan kampung halamannya untuk meudagang ke sejumlah dayah. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap ilmu agama, baik secara kualitas maupun kuantitas. Selain ini keberangkatannya menuntut ilmu di dayah bertujuan untuk menghindari kewajiban yang dibebankan Belanda kepada masyarakat Aceh - khususnya kepada tokoh masyarakat- untuk mendaftarkan anak mereka ke sekolah Belanda. Kewajiban ini merupakan hal tabu dalam kehidupan masyarakat Aceh karena ada anggapan bahwa sekolah Belanda dapat merusak pola pemikiran masyarakat Aceh dan mengubah keyakinan mereka.[2]      

Dayah Ulee Ceue yang dipimpin oleh Teungku Haji Araby merupakan dayah yang dipilih oleh Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Ia menghabiskan sekitar 2 tahun di Dayah Ulee Ceue sebelum pindah ke Dayah Peudada yang dipimpin oleh Teungku Baden, namun ia hanya bertahan selama setahun di dayah ini sebelum akhirnya melanjutkan pendidikan ke Dayah Cot Meurak yang jaraknya hanya setengah kilometer arah selatan kota Bireuen. Di dayah ini, di bawah bimbingan Teungku Haji Muhammad Amin, ia mengkaji berbagai kitab yang umumnya diajarkan di dayah. Kalau pada dayah sebelumnya ia hanya belajar 1 atau 2 tahun namun ia mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama di Dayah Cot Meurah ini. Sungguhpun demikian ia sering bersafar ke beberapa dayah seperti Dayah Tanjungan dan Dayah Kuta Blang di  Samalanga, Dayah Lhok Seumawe, Dayah Garut dan untuk menambah wawasan dan keilmuan. Selain menuntut ilmu Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap juga mengisi waktunya di dayah sebagai pengajar. Ia dipercaya untuk mengajarkan untuk mengajarkan para santri di tingkat rangkang. Ini bertujuan untuk melatih dan membiasakan santri yang meudagang-tidak hanya Teungku Abdurrahman-untuk menjadi seorang pengajar bahkan pimpinan dayah di saat mereka kembali ke kampung halaman mereka.[3]

Setelah 16 tahun menghabiskan waktunya di lembaga pendidikan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap ke desanya untuk mendirikan dayah sendiri, namun kecintaan terhadap ilmu pengetahuan mendorongnya untuk bersafar ke Langkat. Ia ditemani oleh Teungku Ahmad Lampupok dan  Teungku Muhammad Husin Niron dari Aceh Besar, serta Teungku Arifin dari Samalanga. Mereka menemui Kadhi Tuan Syeikh Usman untuk belajar beberapa disiplin ilmu seperti logika, balaghah dengan beberapa cabangnya. Selain itu mereka juga mengajukan diri untuk belajar di lembaga pendidikan yang ada di Langkat dan Medan namun karena faktor usia mereka tidak bisa bergabung dengan pelajar yang ada di sana dan sungguhpun bisa mereka tidak mendapatkan ilmu baru karena materi yang diajarkan lebih rendah dari kemampuan yang mereka miliki. Interaksi pendidikan yang dirasakan Sumatera Utara tidak seperti diharapkan ditambah dengan kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan mereka memutuskan untuk kembali ke Aceh setelah 15 bulan belajar agama di sana.[4]

Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap mencurahkan pemikiran untuk memajukan rakyat Aceh melalui pendidikan. Ia mendirikan dayah di Meunasah Meucap sebagai tempat untuk menginternalisasi ilmu yang telah ia miliki. Namun ia tidak puas dengan sistem pendidikan dayah yang kaku. Melalui forum diskusi dengan beberapa tokoh ia menggagas berdirinya Al Muslim sebagai penggerak lahirnya madrasah, yang dianggap sebagai lembaga pendidikan agama dengan sistem yang berbeda dengan dayah. Melalui organisasi ini pula ia mampu membangun sebuah jaringan sehingga mampu melahirkan gagasan besar untuk mempersatukan para ulama melalui PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Melalui kedua organisasi ini ia mencurahkan seluruh kemampuan untuk menanamkan kesadaran kepada masyarakat Aceh.[5]

Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap merupakan ulama dan pemimpin yang sangat disegani oleh masyarakat. Ia sangat istiqamah dalam menjalankan nilai-nilai Islam. Sebagian waktunya dihabiskan dari satu desa ke desa lain untuk  memberi pencerahan agama kepada masyarakat. Dalam nasehatnya ia selalu mendorong umat Islam untuk membersihkan hati dan jiwa dari khurafat dan bid’ah yang senantiasa menjangkiti masyarakat muslim. Kerja kerasnya ini menyebabkan landchaap peusangan merupakan wilayah yang diperhitungkan pada saat itu.[6]

Teungku Abdurrahman Meunasah memandang Belanda sebagai penjajah yang harus dilenyapkan. Ia tidak mau berafiliasi dengan mereka dalam seluruh aspek kehidupan. Namun ia mempunyai pandangan berbeda dengan keberadaan bangsa Jepang di Indonesia. Hal ini mendorongnya bekerja sama dengan Jepang karena mempunyai musuh yang sama. Pada awal kedatangan Jepang ia dan Teungku Haji Abu Bakar Ibrahim merupakan pelopor penyambutan tentara Jepang di Aceh Utara.[7] Ia ditunjuk oleh Jepang sebagai Kadi Tyo (kepala qadhi) di Aceh Utara, namun akhirnya diganti karena ia tidak sejalan dengan garis kebijakan Jepang. Selain itu ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Agama Islam. Setelah Organisasi Ini dihapus ia diangkat menjadi Kepala Pejabat Agama Bahagian Islam Keresidenan Aceh. Setelah itu ia ditunjuk sebagai Kepala Bagian Tata Hukum pada Jawatan Agama Sumatera Utara. Namun karena kondisi kesehatannya yang terus menurun ia tidak jadi dilantik dalam posisi tersebut.[8]     

 



[1]A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 74.

[2]A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid..., hal. 73.  

[3]Ismuha, Ringkasan Riwayat Hidup Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap (Yogyakarta: Pustaka Awe Geutah), hal. 8.

[4]Ali Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid..., hal. 78-79.

[5]Yusri Daud, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap: Pembaharu Pendidikan dan Penggerak dari Aceh, dalam Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh, (Banda Aceh: Ar Raniry Press, 2004), hal. 179 dan 185. 

[6]Daud Remantan, Pembaharuan Pemikiran di Aceh (1914-1953) (Disertasi), (1985), hal.  286.

[7]Ismuha, “Ulama Aceh Dalam...”, hal. 14. Muhammad Amin menyebutkan bahwa Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap merupakan salah satu ulama yang tidak mau bekerja sama dengan Jepang. Lihat Muhammad Amin, dkk, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Departemen P dan K, 1991), hal. 203.  

[8]A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid..., hal. 89. 

Post a Comment for " Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap: Pembaharuan Pendidikan Islam Di Bireuen"