Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pembaharuan Pendidikan Islam Di Bireuen (Aceh)


 

Pada tahun 1920 an pembaharuan pendidikan Islam merupakan salah satu isu besar di Aceh. Hal ini ditandai dengan munculnya madrasah yang didirikan oleh ulama reformis di berbagai daerah.[1] Lembaga ini merupakan penyeimbang hadirnya sekolah Belanda di satu sisi dan sistem pendidikan dayah di sisi yang lain. Dengan kata lain madrasah merupakan sintesa dari sistem dayah (tesa) dan sekolah Belanda (antitesa). Berkaitan dengan hal ini Safwan Idris menyebutkan:

“Tradisi pendidikan dayah dan meunasah merupakan tradisi yang diwarisi masyarakat Aceh  dari kerajaan Aceh yang merupakan suatu thesa dari pendidikan di Aceh. Tradisi kedua adalah tradisi yang dikembangkan oleh Belanda, yang merupakan sistem pendidikan barat sebagai antitesa terhadap pendidikan yang ada dalam masyarakat Aceh. Perkembangan kedua tradisi tersebut melahirkan dikotomi dalam masyarakat Aceh, seperti dikotomi dunia akhirat, dikotomi pendidikan umum dan agama, dan dikotomi sekuler dan religius serta dikotomi lain yang mencerminkan kedua jenis usaha melembaga dalam pewarisan nilai-nilai. Untuk menghadapi dikotomi tersebut maka lahirlah sistem pendidikan baru di Aceh yaitu sistem pendidikan madrasah. Sistem ini muncul sebagai suatu bentuk pembaharuan pendidikan Islam yang merupakan sintesa dari usaha yang ada.  Ini merupakan tradisi ketiga yang terus berkembang di masa yang akan datang sebagai hasil kreatif respon masyarakat menjawab tantangan zaman”.[2]

Hadirnya madrasah sebagai simbol pembaharuan pendidikan Islam merupakan akibat dari interaksi dan kontak dengan budaya luar. Interaksi ini bisa berbentuk persentuhan individu dengan dunia luar, maupun kedatangan tokoh atau lembaga pembaharu ke Aceh.  Sebagian sejarawan berpendapat bahwa pembaharuan pendidikan Islam di Aceh berawal dari surat yang dikirim oleh Syaikh Abdul Hamid Samalanga diri Makkah.[3] Namun sebenarnya surat tersebut tidak secara tegas menganjurkan kepada ulama Aceh untuk melakukan pembaharuan sistem pendidikan. Surat tersebut hanya menggambarkan  kondisi Makkah di mana masyarakat di kota tersebut hidup secara bebas tanpa penindasan dan tekanan dari bangsa lain. Bila masyarakat ini  Aceh ingin maju seperti bangsa lain maka para ulama tidak boleh tinggal diam dan berpangku tangan tetapi harus berjihad untuk mengangkat derajat masyarakat Aceh dengan cara menyebarkan dakwah islamiyah untuk seluruh lapisan masyarakat. Mendorong para pemuda untuk mempelajari berbagai dispil ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat.[4]

Pembaharuan pendidikan yang tumbuh di Aceh juga terjadi di Karesidenan Bireuen. Latar belakang munculnya pembaharuan pendidikan Islam di Bireuen tidak jauh berbeda dengan latar belakang munculnya isu ini di Aceh. Digerakkan oleh tangan-tangan reformis yang mempunyai visi membangun setelah mereka melihat perkembangan pendidikan di luar serta terpengaruh dengan pergerakan organisasi nasional yang membuka cabang di Aceh.

Kehadiran Muhammadiyah di Aceh pada tahun 1923 yang membuka cabang di Bireuen menjadi salah satu faktor pemicu munculnya pembaharuan di wilayah ini.[5] Bahkan organisasi inilah yang menjadi perintis pembaharuan pemikiran agama, sistem pendidikan dan kehidupan sosial masyarakat di Aceh. Namun organisasi ini tidak diterima dengan baik karena prinsip non mazhab yang merupakan salah satu acuan pergerakan mereka merupakan hal tabu dalam kehidupan masyarakat Aceh. Selain itu sikap tegas terhadap tradisi menyimpang dalam masyarakat menjadi alasan lain mengapa organisasi ini ditolak oleh sebagian besar kalangan.[6] Sungguhpun demikian kehadiran organisasi memberi pengaruh besar pada pola pikir sebagian masyarakat Aceh.

Kemunculan pembaharuan pendidikan Islam di Bireuen secara tidak langsung juga disebabkan oleh kehadiran sekolah Belanda. Kehadiran sekolah Belanda ini merupakan sebuah kebutuhan tidak hanya buat Belanda sendiri tetapi juga terhadap masyarakat Aceh. Namun pernyataan sikula jeut keu kafe  menjadi faktor yang menghalangi keinginan sebagian masyarakat untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah Belanda. Pernyataan yang mengandung larangan ini mendorong mereka untuk mencari lembaga pendidikan alternatif ke luar daerah. Mereka berharap dengan mengirim ke lembaga-lembaga pendidikan tersebut anaknya akan menjadi kaum terpelajar yang menguasai berbagai disiplin ilmu, yang dikemudian hari membentuk sebuah kelompok baru yang mempunyai menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kehadiran kaum terpelajar tersebut di kemudian hari menjadi unsur penting pendukung pembaharuan pendidikan Islam.[7]   

Munculnya konsep dan gagasan pembaharuan pendidikan Islam di Bireuen mencapai klimak pada saat Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dan beberapa tokoh lain mendirikan Al Muslim, sebuah organisasi yang nantinya menjadi payung berdirinya Madrasah Al Muslim. Lahirnya lembaga ini merupakan hal yang telah dicita-citakan oleh Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap setelah mengobservasi dan menilai proses pembelajaran yang berlangsung di beberapa madrasah di Sumatera Utara ketika menuntut ilmu di sana. Ia tertarik dengan sistem pendidikan pada madrasah di mana peserta didik mampu menyerap materi ajar secara merata yang berpengaruh pada out put lembaga ini. Sistem ini merupakan hal baru baginya karena ketika menempuh pendidikan di beberapa dayah di Aceh ia disuguhkan dengan cara belajar yang kaku sehingga menimbulkan kesenjangan kemampuan antar satu santri dengan santri lain.[8]     

Selain pengaruh dari lembaga pendidikan di Sumatera Utara, pembaharuan pendidikan Islam yang gerakkan oleh Teungku Abdurrahman Meunasah juga sebabkan oleh dorongan oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh setelah dianjurkan oleh Teungku Abdul Hamid Samalanga. Disebutkan:

“...Teungku Muhammad Daud Beureueh, yang rupa-rupanya juga menyambut baik ide pembaharuan sistem pendidikan agama di Aceh. Hal ini dapat diketahui karena Teungku Muhammad Daud Beureueh selanjutnya menyampaikan pula anjuran itu kepada rekan-rekanya para ulama lainya, di antaranya kepada Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap di Matang Geulumpang Dua yang mempunyai sebuah dayah (lembaga pendidikan agama yang tradisional)...”[9]

Selain Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap pembaharuan pendidikan Islam di Bireuen juga tidak lepas dari peran Teungku Chik Johan Alamsyah selaku ulee balang di Peusangan. Ia terinspirasi untuk mengadakan pembaharuan di Bireuen setelah mengunjungi beberapa wilayah yang telah melakukan pembaharuan pendidikan Islam. Ia pernah mengunjungi beberapa tempat di Sumatera Barat dan pulau Jawa. Perlu kita catat bahwa walaupun berperan sebagai uleebalang, Teuku Chik Johan Alamsyah memberi perhatian yang serius terhadap kepentingan masyarakat. Dengan kata lain ia berbeda dengan kebanyakan ulee balang yang merupakan kaki tangan Belanda.[10]

Kolaborasi antara Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dari unsur ulama dan Teuku Chik Johan Alamsyah yang berperan sebagai umara menghasilkan sebuah kekuatan yang nantinya mampu menggerakkan pembaharuan pendidikan Islam di tidak hanya pada level Bireuen tetapi juga Aceh. Mungkin pernyataan ini terlalu tendensius, namun secara jujur, sepakat atau tidak sepakat Bireuen merupakan pilot project pembaharuan pendidikan Islam di Aceh. Setidaknya ada beberapa lembaga dan organisasi yang muncul di Bireuen, sebagai lambang keberhasilan pembaharuan pendidikan Islam Aceh, yaitu: Madrasah Al Muslim, Persatuan Ulama Seluruh Aceh, Normal Islam Institut dan Kasyafatul Al Muslim (KAMUS).[11]

Peran masyarakat Bireuen dalam pembaharuan pendidikan Islam di Aceh juga begitu nyata. Hal ini tergambar dalam pernyataan berikut: “Maka dengan bantuan pimpinan Al Muslim dan tokoh-tokoh masyarakat di Bireuen, dapatlah diperpinjamkan tempat belajar di kompleks madrasah Al Muslim cabang Cot Meurak.”[12]

 



[1]Robert Cribb dan Audrey Kahin, Historical Dictionary of Indonesia (Oxford: The Scarecrow Press, 2004), hal. 4.

[2]Safwan Idris, “Pendidikan Di Aceh”, dalam Badruzzaman Ismail, dkk, ed., Perkembangan Pendidikan Di Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 1995), hal. 8.

[3]Baihaki Ak, “Ulama dan Madrasah di Aceh”, dalam Taufik Abdullah, ed., Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hal. 166-167 dan Ismuha, “Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah” dalam Taufiq Abdullah, ed., Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hal. 25.

[4]M. Nur El Ibrahimy, “Sekitar Pembaharuan Sistem Pendidikan Agama di Aceh”,  dalam Badruzzaman Ismail, dkk, ed., Perkembangan Pendidikan Di Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 1995), hal. 96.

[5]M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal. 37 dan Ismuha, “Ulama Aceh Dalam..., hal. 64.

[6]Daud Remantan, Pembaharuan Pemikiran di Aceh (1914-1953) (Disertasi), (1985), hal.  396. Bandingkan dengan penjelasan Ismuha yang menyebutkan bahwa ide pembaharuan pendidikan Islam di Aceh dipelopori oleh seorang ulama bangsawan Tuanku Raja Keumala . Ismuha, “Ulama Aceh Dalam...”, hal. 22 dan 33.

[7]Baihaki Ak, “Ulama dan Madrasah...”, hal. 165. 

[8]A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 80. 

[9]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), hal. 71-72. Lihat juga Baihaqi A.K., Ulama dan Madrasah..., hal. 167. 

[10]Daud Remantan, Pembaharuan Pemikiran di..., hal 235 dan 286.

[11]Kamus yang pada awalnya hanya merupakan kegiatan ekstrakurikuler di Madrasah Al Muslim bermetamorfosis menjadi organisasi besar setelah diakuisisi oleh Pemuda PUSA dan namanya diubah menjadi Kasysyafatul Islam dan bermarkas di Normal Islam Institut Bireuen. Lihat M. Nur El Ibrahimy, Muhammad Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan Aceh (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal. 82. 

[12]Daud Remantan, Pembaharuan Pemikiran di..., hal. 179.

Post a Comment for "Pembaharuan Pendidikan Islam Di Bireuen (Aceh)"