Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tafsir Muqarin

 Pengertian Tafsir Muqarin

Istilah tafsir muqarin merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu : tafsir dan muqarin. Tafsir secara etimologi adalah mashdar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti menjelaskan. Sedangkan secara terminologi tafsir adalah suatu ilmu yang membahas cara   memahami isi kitab (Al Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan menjelaskan makna serta hikmah yang terkandung di dalamnya. Kata muqaran atau muqarin merupakan mashdar dari kata qara'a-yaqra'u-muqaaranatan yang berarti perbandingan (komparatif)[1]

Tafsir muqarin adalah suatu metode penafsiran yang membandingkan teks ayat-ayat Al Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih atau memiliki redaksi yang berbeda  bagi satu kasus yang sama. Membandingkan ayat Al Qur’an atau hadits yang secara dhahir terlihat bertentangan serta membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an[2]. 

Metode muqarin merupakan metode yang bertitik tolak pada pembagian metode penafsiran oleh Al Farmawi di samping metode tahlili, ijmali dan maudhu'i.[3] Penafsiran Al Qur’an dengan metode muqarin telah berkembang sejak masa mufassirin mutaqaddimin. Dalam bentuk sederhana ulama pada saat itu mufassirin sudah membandingkan   penafsiran satu ayat dengan ayat lainya[4]. Sebagai contoh Al Iskafi di dalam tafsirnya Durrah al Tanzil wa Ghurrah al Ta'wil menyajikan kajian komparatif. Hal itu terlihat dari bagaimana ia menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an dengan membandingkan ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksional. Di samping itu ia juga menyuguhkan munasabah, asbab al nuzul, kaidah Bahasa Arab dan tartib al nuzul sebagai pendukung dalam studi komparatifnya[5]. Perlu kita garis bawahi bahwa tafsir muqarin tetap dengan memperhatikan urutan ayat tafsir ini hampir sama dengan apa yang diterapkan dalam tafsir Tahlili, yang menafsirkan Al-Qur’an secara detail dari mulai ayat demi ayat, surat demi surat ditafsirkan secara berurutan, selain itu juga tafsir ini mengkaji Al-Qur’an dari semua segi dan maknanya. Tafsir ini juga lebih sering digunakan daripada tafsir-tafsir yang lainnya.

Adapun latar belakang munculnya metode ini sedikit banyak sejalan dengan latar belakang atau motif yang memunculkan metode munasabah. Atau mungkin juga metode al maudhu’i. Hal ini berhubungan dengan dua sifat. Pertama, Al Qur’an mengklaim bahwa sebagai suatu kitab yang mencakup segala sesuatu. Kedua Al Qur’an juga mengklaim sebagai sebuah kitab yang bebas dari kontradiksi. Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menerapkan metode ini adalah memusatkan perhatian pada sejumlah ayat-ayat tertentu, lalu menemukan keanekaragaman penafsiran ayat tersebut; baik yang klasik maupun yang modern;  mengkomparasikan pendapat-pendapat mereka untuk mengetahui kecenderungan- kecenderungan atau aliran-aliran yang mempengaruhi mereka, keahlian yang mereka miliki dan kondisi sosial yang menjadi latar belakang kehidupan.

Dalam membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat Al Qur’an ada beberapa hal yang perlu ditelaah lebih lanjut meliputi :

  1. Kondisi sosial politik pada masa seorang mufassir hidup
  2. Kecenderungan dan latar belakang pendidikanya
  3. Pendapat yang dikemukakan, apakah pendapat pribadi, pengembangan pendapat sebelumnya atau berupa pengulangan
  4. Setelah menjelaskan hal di atas pembanding melakukan analisis untuk mengemukakan penilaian tentang pendapat tersebut baik menguatkan atau melemahkan atau menguatkan pendapat mufassir yang diperbandingkan[6].

Prosedur penafsiran dengan cara muqarin dilakukan dalam tiga tahapan :

  1. Menginventaris ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemiripan redaksi
  2. Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat tersebut
  3. Mengadakan penafsiran.[7]

Dalam tafsir al muqarin seorang mufassir mempunyai peran : pertama mengkompromikan antara satu ayat dengan ayat lain; ayat dengan hadits shahih dan mengkompromikan pendapat para mufassirin yang telah ada sebelumnya. Kedua menyatakan perbedaan lafadz yang terkesan bertentangan dan yang ketiga memberikan pandangan pribadi atau memberikan penguatan  satu pendapat yang ditawarkan oleh mufasir sebelumnya sebagai penjelas bagi siapa saja yang tafsir yang ia susun.                           

Tujuan Faedah Dan Hikmah Mempelajari Tafsir Muqarin

 

Adapun tujuan, faedah dan hikmah mempelajari tafsir muqarin adalah :

  1. Pembaca bisa mendapatkan sebuah gambaran bahwa ranah penafsiran adalah ranah ikhtilaf, sehingga terbuka pintu hatinya untuk bersikap toleran terhadap orang lain yang berbeda dengannya, sikap kejumudan dan fanatisme terhadap satu mazhab bisa dikurangi
  2. Mendorong para pembaca untuk menaruh hormat yang tinggi kepada ilmu dan jerih payah pemikiran mufassirin. Karena melahirkan sebuah karya pemikiran memerlukan usaha dan perjuangan.
  3. Menumbuhkan kesan bahwa perbedaan yang terjadi di antara para mufassirin bukanlah lapangan yang bisa menimbulkan perpecahan di tengah-tengah umat.
  4. Melahirkan kesan adanya kebebasan berpikir, merenung dan berkarya dalam memahami ayat Al Qur’an.
  5. Memberi kelonggaran kepada umat islam untuk melaksanakan segala perintah Allah ta’ala dan Rasul, dengan mengambil salah satu alternatif dari beberapa pendapat.
  6. Mendidik setiap pembaca untuk mengasah otak, memperluas wawasan berpikr dalam menemukan pendapat yang terbaik yang paling dekat dengan kebenaran.

 

Ruang Lingkup Dan Objek Utama Pembahasan Tafsir Muqarin

 

Yang menjadi ruang lingkup kajian tafsir adalah :

 

  1. Membandingkan ayat yang memiliki kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda baik kasus dizahirkan dalam ayat maupun tidak.

 

a.       Kasus yang tidak dilahirkan dalam ayat :

Misalnya perbandingan penafsiran Surat Al Anfal : 10 dengan Surat Ali Imran : 126

“Dan tidaklah Allah menjadikan dia melainkan sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana (Q.S. Al Anfal : 10)”

 

 

“Dan tidaklah Allah menjadikan ia (pemberian bala bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira (bagi kemenangan)mu dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana (Q.S. Ali Imran : 126)”

 

Dua ayat tersebut redaksinya terlihat mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum muslimin ketika melawan musuh-musuh mereka. Namun terdapat perbedaan-perbedaan dalam redaksi  ayat di atas. Surat Al Anfal : 10 mendahulukan bihi dari pada qulubuhum, memakai kata inna dan menerangkan peristiwa Perang Badar. Sedangkan Surat Ali Imran : 126 memakai kata lakum dan menerangkan peristiwa Perang Uhud.

Pendahuluan bihi serta penambahan inna pada Surat Al Anfal : 10 di atas menunjukkan bahwa kemenangan dalam Perang Badar mutlak karena bantuan Allah melalui malaikatnya, karena jumlah kaum muslim masih sangat sedikit dan mereka sangat mengharapkan pertolongan. Sedangkan dalam Perang Uhud kondisi psikologis orang Islam agak berbeda. Mereka merasa bahwa perang yang mereka lakukan hanya legalitas memperoleh kemenangan,  sedangkan kemenangan sudah mereka raih. Tapi ternyata mereka kalah karena mereka tidak menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah ta’ala[8]. Sebenarnya sudah ada isyarat bahwa malaikat akan turun dan membantu kaum muslimin dalam Perang Uhud namu karena nuansa hati orang Islam yang tidak memenuhi syarat kesabaran dan ketaqwaan yang ditetapkan oleh Allah. Seandainya mereka bersabar mereka akan mendapat pertolongan Allh SWT dengan lima ribu ,alaikat yang memakai tanda. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Surat Ali Imran : 125 :

 

 

“ Ya Jika kamu bersabar dan bertakwa ketika mereka datang menyerang kamu dengan tiba-tiba, niscaya Allah akan menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda” (Surat Ali Imran : 125)

b.      Kasus yang dizahirkan dalam ayat :

Misalnya perbandingan penafsiran Surat Az Zumar : 71 dan 73

 

“Orang-orang kafir digiring ke dalam neraka secara berombongan, sehingga apabila mereka sampai kepadanya (neraka) maka pintu-pintunya dibukakan dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?” Mereka menjawab: “Benar (telah datang)”. Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir” (Az Zumar : 71)

 

 

“Orang-orang bertaqwa kepada tuhannya  digiring ke dalam surga secara berombongan, sehingga apabila mereka sampai kepadanya (syurga) sedang pintunya telah terbuka maka pintu-pintunya dibukakan”dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya (Surat Az Zumar : 73)”

 

Pada ayat 73 terdapat kata rabbahum dan ada huruf wawu pada kata futhihat. Sedangkan pada ayat 71 tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa masuknya seseorang ke dalam surga atas rahmat dari Allah, sedangkan orang yang masuk neraka disebabkan oleh kezaliman mereka sendiri terhadap Allah. Pemakaian fa’ pada ayat 73 menunjukkan bahwa pintu surga telah terbuka dan dalam rangka menyambut orang bertaqwa.

 

  1. Membandingkan ayat yang memiliki redaksi yang dan kasus yang sama, tetapi berbeda struktur kalimat

a.       Perbedaan dalam susunan kelompok kata :

Surat Al Baqarah : 58 dan Surat  Al A’raf : 161

 

“Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masuklah pintu gerbangnya dengan bersujud, dan katakanlah :"Bebaskanlah kami dari dosa", niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik (Al Baqarah : 58)

 

 

“Dan (ingatlah), ketika dikatakan kepada mereka (Bani Israil): “Diamlah di negeri ini saja (Baitul Maqdis) dan makanlah dari (hasil bumi) nya di mana saja kamu kehendaki.”. Dan katakanlah: Bebaskanlah kami dari dosa kami dan masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu”. Kelak akan Kami tambah (pahala) kepada orang-orang yang berbuat baik”.(Al A’Raf :161)

 

            Kedua ayat di atas menceritakan masalah yang sama, yaitu perintah kepada Bani Israil untuk memasuki Baitul Maqdis (Ariha-Jericho) setelah sebelumnya mereka tertindas ratusan tahun di Mesir. Melalui perjalanan panjang mereka dijanjikan sebuah tempat yang akan menjadi habitat mereka yaitu  Baitul Maqdis. Namun mereka enggan memasuki kota tersebut karena harus berperang melawan suatu yang sedang berkuasa. Karena enggan ini mereka dihukum selama 40 tahun di Padang Tih. Setelah satu generasi berganti barulah mereka diizinkan oleh Allah SWT memasuki kota itu.  

b.      Perbedaan karena bertambah dan berkurang nya huruf

Surat Al Baqarah : 6 dan Surat Yasin : 10

Sama saja bagi mereka (orang kafir) angkau beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman (Surat Al Baqarah : 6)

 

                                                                                                                            

 

Dan sama saja bagi mereka (orang kafir) angkau beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman (Surat Yasin: 10)

c.       Taqdim dan Takhir

Surat Al Hadid : 20 dan Al Ankabut : 64

 

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau (Surat Al Hadid : 20)

 

Kehidupan dunia adalah senda gurau dan permainan (Al Ankabut : 64)

 

  1. Membandingkan ayat yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau diduga sama

Misalnya perbandingan Surat Al Anfal : 2 dengan Surat As Sajdah : 15

 

 

“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah orang yang apabila disebut nama Allah, gemetar hatinya dan apabila dibacakan ayat-ayat kami bertambah imannya. Dan hanya kepada tuhan mereka bertawakkal (Surat Al Anfal : 2)”

 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami, hanyalah orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat itu mereka sujud tersungkur, bertasbih memuji tuhannya dan mereka tidak menyombongkan diri (Surat As Sajdah : 15)”

 

  1. Membandingkan ayat yang memiliki redaksi  yang sama tetapi terdapat huruf yang sama tetapi fungsi yang berbeda dalam dua ayat

Misalnya perbandingan Surat Al Kafirun : 3 dan 5

 

Kedua ayat ini mempunyai redaksi yang persis yaitu : akan tetapi huruf ma yang ada pada kedua ayat ini mempunyai arti yang berbeda. Ma pada ayat ketiga berarti kamu tidak akan menjadi penyembah apa yang sedang dan akan aku sembah. Sedangkan ma pada ayat ke lima adalah mashdariyah yang artinya kamu tidak akan menjadi penyembah-penyembah dengan cara penyembahan ku[9]

  1. Membandingkan ayat-ayat Al Qur’an dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang tampak bertentangan

Perbandingan penafsiran antara ayat Al Qur’an dan hadits yang terlihat berseberangan makna  bisa dilakukan apabila kualitas hadits berada pada derajat yang tinggi (shahih). Bila status hadits berada di bawah derajat tersebut maka hadits tersebut harus diabaikan.  Perbandingan ini bisa kita analisa dalam kasus di bawah :

Masuklah kamu ke dalam surga dengan sebab amalan yang engkau kerjakan (Surat An Nahl : 32) 

Sedangkan dalam hadits disebutkan :

Dari Aisyah ra dari Nabi Muhammad SAW bersabda : “ .....Sesungguhnya tidak seorangpun yang masuk surga karena amalnya”. Sahabat bertanya tidak juga engkau ya Rasulullah ?. Nabi menjawab “tidak juga saya kecuali Allah meliputiku dengan ampunan dan rahmatnya (H.R. Bukhari)

            Secara dhahir antara ayat dan hadits di atas terlihat berbeda namun dalam mufassir berusaha mengkompromikan kedua teks yang berlawanan di atas untuk menemukan makna yang sesungguhnya dan melengkapi satu sama lain. Seseorang masuk surga karena limpahan rahmat dari Allah ta’ala dan rahmat itu hanya diberikan kepada hamba-hambanya yang bertaqwa.

 

  1. Membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran Al Quran

Bagi mufassirin ayat-ayat Al Qur’an ibarat sebuah permata yang memancarkan cahaya dari setiap sudut. Mereka dengan tekun berusaha mengukir berbagai makna yang terdapat di dalamnya. Contoh yang sederhana dapat kita lihat di saat mufassirin membahas maksud kata ismi dalam Surat Al Fatihah : 1 dan ismi yang terdapat pada Surat Al Alaq : 1,  Pada Surat Al Fatihah bismi ditulis tanpa alif sedangkan pada Surat Al Alaq : 1 ditulis dengan memakai alif. Al Qurthubi mengatakan bahwa hal itu karena alasan praktis semata. Berbeda dengan Al Qurthubi, Az Zarkasyi mengatakan bahwa pada alif dibuang karena ada kata Allah pada ayat tersebut dan kata itu tidak bisa dijangkau, sedangkan penetapan alif karena pada ayat tersebut ada kata rabb, yang efek kata tersebut bisa dianalisa. 

Berbeda dengan kedua mufassirin di atas Rasyad Khalifah mengatakan bahwa ditanggalkan huruf alif pada basmalah, supaya basmalah menjadi 19 huruf. Bila basmalah berjumlah 19 huruf maka jumlah kata ismi, Allah, Ar Rahman dan Ar Rahim di dalam Al Qur’an bila dibagi 19 menghasilkan bilangan bulat. Kata ismi berjumlah di dalam Al Qur’an diulang 19 kali (19 : 19 = 1), Kata Allah diulang 2.698 kali (2.689 : 19 = 142), Kata Ar Rahman 57 kali (57 : 19 = 3) dan Ar Rahim 114 kali (114 : 19 = 6)[10].    

 

A.  Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Muqarin

 

Penafsiran Al Qur’an dengan menggunakan metode muqaran mempunyai kelebihan dan kekurangan.

a.      Kelebihan

  1. Memberi wawasan dan cakrawala berpikir yang luas, menggunakan metode muqarin akan terdapat sebuah gambaran  Al Qur’an dapat dipahami dari beberapa disiplin ilmu pengetahuan, berbagai sudut pandang  sesuai dengan latar belakang dan keahlian seorang mufassir.
  2. Melahirkan pandangan, sikap atau gagasan  baru bagi pembaca atau minimal memilih satu pendapat yang ada setelah menemukan beberapa gagasan yang ada dalam tafsir.
  3. Penafsiran dengan menggunakan metode muqarin bisa mengungkap kemukjizatan dan keotentikan Al Qur’an dalam aspek tidak ditemukannya, pertentangan ayat-ayat Al Qur’an antara satu dengan yang lain. Melalui metode ini seorang mufassirin menawarkan dan menggambarkan dalil-dalil keotentikan Al Qur’an, bahwa di balik redaksi yang berbeda atau mirip terdapat suatu pengertian yang mendalam.

b.      Kelemahan

Adapun kelemahan yang terdapat pada metode tafsir muqarin adalah :

1.    Penafsiran dengan menggunakan metode ini tidak dapat dilakukan oleh pemula, hal ini disebabkan oleh luasnya bahasan yang harus dikemukakan, harus mendalami berbagai fenomena aliran penafsiran. Demikian juga dengan pembaca pemula akan kesulitan dalam memahami penafsiran yang seperti ini.

2.    Penafsiran dengan menggunakan metode muqaran lebih mementingkan mengkaji perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga tidak bisa dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan di tengah-tengah masyarakat.

3.    Penafsiran menggunakan metode muqarin lebih banyak mengkaji pendapat-pendapat mufassirin sebelumnya. Mufassirin terkesan mengambil posisi sebagai “editor” yang tidak memiliki pemikiran baru. Tetapi hal ini bisa ditutupi dengan mengaitkan permasalahan yang sedang ditafsirkan dengan kondisi sekarang ini.


[1]Az Zarkasyi, Al Burhan Fi Ulumul Qur’an (Bairut : Dar Al Fiqr, 1988) hal 163-164

[2]Tim Sembilan, Tafsir Maudhui Al Muntaha (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, tt) hal 20 

[3]M Quraish Syihab, Membumikan Al Qur’an, (Bandung : Mizan 2000) hal 118

[4]Nashiruddin Baida, Tafsir Perkembangan Al Qur’an Di Indonesia, (Surakarta : Tiga Serangkai, tt) hal 15

[5]Gus Arifin dan Suheri Abu Faqih, Al Qur’an Mahkota Cahaya (Jakarta : Elek Media Komputindo,2010) hal 69

[6]M. Quraish Shihab, Membumikan...hal 199 

[7]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 1998) hal 221

[8]Abuddin Nada, Metodolog... hal 221

[9] Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Vol XV , (Jakarta : Lentera Hati, 2000) hal 580

[10]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Vol I, (Jakarta : Lentera Hati, 2000) hal 15 

Post a Comment for "Tafsir Muqarin"