Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PUSA-MUHAMMADIYAH; KOLABORASI KONSEP PEMBAHARUAN

 

Lentera-MU Ketika membuka literatur tentang khazanah pendidikan di Aceh, maka tradisi pendidikan dayah merupakan terminologi  yang selalu ‘mengapung’ kepermukaan. Sebuah tradisi pendidikan dengan teacher centered learning sebagai core dan kitab jawoe sebagai rujukan utama; sehingga melahirkan sebuah komunitas kaku yang mengharamkan semua bentuk perubahan. Di sisi lain adanya sosialisasi nilai tak sempurna di lembaga pendidikan maupun dalam sebuah tradisi kehidupan menyebabkan sebagian masyarakat masih mempraktikkan hal yang dilarang agama dan mempersepsikan hal itu sebagai bagian terintegrasi dari agama itu sendiri.

Pada tahun 1923 Muhammadiyah hadir di Aceh dengan membuka cabang di Bireuen. Organisasi ini menawarkan paradigma baru penalaran agama,[1] mengajukan sebuah konsep kehidupan beragama “murni” yang tidak terkontaminasi dengan kesyirikan, anismisme dan dinamisme. Memperkenalkan cara berpikir baru dengan intuisi akal yang lebih terbuka dan menjauhkan diri dari jargon mazhab. Tawaran yang diberikan menimbulkan turbulensi di tengah-tengah masyarakat karena budaya hidup yang mengakar. Di samping itu pola beragama non mazhab merupakan sesuatu yang tabu dalam dataran masyarakat Aceh. Ketegasan terhadap sesuatu yang menyimpang menyebabkan sebagian masyarakat menolak kehadiran Muhammadiyah.[2]

Penolakan terhadap apa yang disampaikan Muhammadiyah merupakan sebuah dinamika pergulatan pergerakan. Walaupun hal ini terjadi, namun kehadiran Muhammadiyah telah memberikan sebuah pemahaman bahwa ada dimensi lain yang mengembrio dalam tatanan kehidupan beragama dan suatu saat akan bermetamorfosis menjadi sebuah bangunan yang kokoh. Ide-ide persyarikatan menyebar pelan tapi pasti, mengisi relung kosong wahana intelektual masyarakat memutuskan mata rantai kejumudan berpikir.

Dua dekade setelah kehadiran Muhammadiyah, PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) hadir sebagai pembaharu dengan  identitas dan entitas keacehan. Organisasi ini meramu sebuah konsep yang tidak jauh berbeda dengan apa yang menjadi indentitas Muhammadiyah. Kehadiran PUSA yang digerakkan oleh ulama modernis seperti Teungku Daud Beureueh dan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap disambut positif oleh masyarakat karena kharisma para pendirinya serta mengusung konsep “kearifan budaya lokal.” Kedekatan Ulama dan masyarakat yang telah terbangun sebelumnya menjadi sebuah kekuatan ideal penetrasi ide, konsep dan gagasan pembaharuan.

Penulis mempunyai sebuah keyakinan bahwa konsep puritan yang digagas oleh Muhammad bin Abdul Wahab dan diarasemen ulang oleh Muhammadiyah mengalir secara utuh dalam nadi perjuangan PUSA. Ini melahirkan sebuah pemahaman bahwa dalam bingkai kehidupan beragama baik PUSA maupun Muhammadiyah mempunyai tujuan yang sama. Perbedaan keduanya hanya pada khittah perjuangan di mana PUSA bergerak pada jalur yang lebih fluktuatif sedangkan Muhammadiyah tetap mengangkat “jargon tarjih” sebagai tema utama.

Pergerakan dengan irama berbeda yang dilakonkan oleh kedua organisasi ini-1923-1945-telah melahirkan sebuah komunitas baru yang “melek” perubah. Mereka mengivasi kehidupan masyarakat perkotaan dengan masjid sebagai pusat pergerakan. Subuh berjamaah dengan tali silaturrahmi yang kokoh selalu menjadi awal dari aktivitas mereka. Kaum sarungan berusaha duduk manis di pojok dan memarjinalkan diri dalam kebekuan intelektual. Mereka tidak mempunyai power secara politik, karena sepi dari organisasi pergerakan dan tidak berdaya secara legal formal karena  tidak ada yang duduk di “kursi” pemerintahan. Mereka tetap bertahan pada terminologi bek jak sikula, karena jeut keu kafe (larangan menempuh pendidikan formal, karena dikhawatirkan menjadi kafir).

Selain itu pergerakan PUSA-Muhammadiyah, telah melahirkan sejumlah tokoh intelektual. Mereka tersebar diberbagai tempat dan menginspirasi lahirnya berbagai gagasan dalam rangka memajukan masyarakat. Generasi yang dilahirkan PUSA-Muhammadiyah menjadi pelopor gerakan “berkemajuan”. Namun masa-masa keemasan itu mulai berakhir. Pasca MoU Helsinki yang ditanda tangani pada tanggal 15 Agustus 2005, revolusi sosial-agama membahana di tengah-tengah masyarakat. Kaum sarungan memanfaatkan hubungan emosional dengan “kekuatan baru” untuk menginvasi perkotaan. Mereka mengangkat isu wahabi karena tidak berani menyerang Muhammadiyah secara langsung.  Konflik agama dalam bentuk perebutan masjid menjadi tajuk utama diskusi di altar kehidupan. Mazhab “Syafi’iyah Modifikasi” menjadi ciri utama pola peribadatan di setiap mesjid telah direbut. Mendorong masyarakat untuk berpikir seperti masyarakat di Zaman Batu yang mengedepankan “logika terbalik” dalam menginterpretasi dokrin agama.

 



[1]M Isa Sulaiman, Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal. 37.

[2]Daud Remantan, “Pembaharuan Pemikiran di Aceh” (1914-1953)” Disertasi (1985), hal. 396.


Post a Comment for "PUSA-MUHAMMADIYAH; KOLABORASI KONSEP PEMBAHARUAN"