ULAMA KHARISMATIK ACEH (PART I): ABSURD CLAIM
LENTERA MU Ketika memasuki salah satu warung kopi di seputaran Kota ‘Sate” Matang Geulumpang Dua, penulis terusik dengan sebuah poster berjudul “Ulama Kharismatik Aceh”. Penulis tidak mempermasalahkan pemajangan poster terebut, karena hal itu merupakan hak meueng pemilik warung. Hanya saja timbul sebuah pertanyaan “apa standar yang digunakan untuk menakar “kadar” yang dimiliki seseorang sehingga ia dapat diklaim sebagai ulama kharismatik. Apakah “rimueng teungku” yang muncul manakala seseorang memasuki arena dayah dengan niat tidak baik, apakah “pesta rakyat” yang selalu dilaksanakan setiap Jum’at di area makamnya; atau standar lain yang hanya didasari oleh unsur taklid dan kemusyrikan?.
Tradisi keilmuan selalu mengacu pada nilai sistematis, logis, rasional dan empiris dalam menyusun konsep dan gagasan. Ini penting karena fungsi akal selalu mengikuti nilai-nilai yang tersebut di atas. Sebuah gagasan yang mengacu pada prinsip-prinsip dasar berpikir maka dapat dipertahankan, dikembangkan dan diformasi ulang dengan tidak mengubah unsur utamanya. Sebaliknya sebuah konsep yang dibangun atas dasar dugaan, kecintaan, dan taklid maka akan tergerus perkembangan zaman. Bahkan akan menjadi sebuah anekdot dalam lalu lintas kajian keilmuan.
Merujuk pada buku The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History (100 Tokoh Berpengaruh Di Dunia), maka ditemukan sebuah fakta bahwa Michael H. Hart menggunakan standar penilaian yang sangat ketat dalam menetapkan tokoh dan posisi mereka dalam perangkingan. Yang terpenting dari dari semua itu adalah Hart menghilangkan jargon agama, ras, bangsa dan negara dalam memilih seorang tokoh. Menafikan unsur dugaan, kecintaan dan taklid dalam urutan penyusunan. Ia tetap menempatkan Nabi Muhammad SAW di urutan pertama walaupun tidak mengimani kerasulannya. Pada saat buku ini diluncurkan, kritikan muncul di kalangan ilmuan non muslim. Mereka mempertanyakan mengapa Nabi Muhammad SAW ditempatkan diurutan pertama. Sang pengarang berusaha mempertahankan keputusanya, dengan menyampaikan fakta dan realitas sejarah, serta eksistensi keyakinan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sikapnya yang konsisten, melahirkan kepercayaan dan ketertarikan publik sehingga buku tersebut menjadi salah rujukan dalam mengkaji tokoh berpengaruh di dunia.
Di tangga Gedung Pascasarjana Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, seorang professor pernah menggugat; pernah mengajukan sebuah pertanyaan mengenai siapa sebenarnya ulama Aceh. Gugatan itu muncul karena “terminologi ulama” dalam perspektif masyarakat Aceh hanya berputar dalam lingkaran dayah. Istilah ulama Aceh hanya milik teungku yang sudah abu-abu, atau teungku yang belum abu-abu. Hanya milik kaum sarungan, “kutu kitab” bermazhab syafii yang mentabukan semua bentuk perubahan walaupun dalam ranah furu’iyah. Para pemikir sekelas Daniel Djuned yang diakui keilmuanya dalam bidang hadits, tidak mendapat tempat dalam jaringan ulama Aceh. Hasbi Amiruddin, “dikecam” oleh sebagian kalangan karena dianggap menyampaikan berita secara tidak proporsional mengenai eksistensi dayah, padahal ia hanya mengulas sebuah ilustrasi berjudul “dayah undercover”
Aceh dengan khazanah keilmuan yang luar biasa telah melahirkan ulama dan pemikir kaliber nasional. Sebagian dilahirkan dan dibesarkan di tanah Aceh dengan asam sunti plus gulee pliek sebagai santapan utama; tetapi akhirnya menghabiskan masa tua di negeri lain. Sebagian hadir sebagai tamu, kemudian dipercaya sebagai mufti dan berkotribusi dalam penguatan kehidupan beragama. Sebagian memimpin jihad melawan penjajah-hilang tanpa batu nisan - untuk mempertahankan agama dan negara. Mereka sangat berjasa dalam memberi pencerahan dan membuka cakrawala berpikir masyarakat Aceh. Membebaskan masyarakat Aceh dari belenggu kejumudan berpikir.
Logika “dungu” yang ditonjolkan oleh sebagian kaum telah menditorsi peran besar ulama terdahulu. Cara berpikir picik yang dimainkan secara piawai oleh sebagian golongan telah mengerdilkan peran Abu Daud Beureueh dalam kancah kehidupan sosial keagamaan. Ketika terdesak mereka berkata bahwa itu hanya sekedar poster, tidak perlu diukur dengan kacamata ilmiah; hanya sekedar pajangan untuk memperkenalkan para ulama Aceh. Namun penulis menilai bahwa poster yang tidak bisa dipertanggung jawabkan tersebut, secara massif -disadari atau tidak - sudah dianggap sebagai rujukan yang sah dan shahih untuk dijadikan hujjah oleh sebagian masyarakat. Sehingga ketika muncul risalah lain yang lebih sistemik dengan sajian yang lebih ilmiah mereka tetap menolak dengan menggunakan perspektif kacamata kuda.
Post a Comment for "ULAMA KHARISMATIK ACEH (PART I): ABSURD CLAIM"