Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Munculnya gagasan pembaharuan pemikiran di Indonesia, baik dalam bidang agama,  sosial dan pendidikan dilatarbelakangi oleh pembaharuan pemikiran di dunia Islam, baik yang terjadi di Mesir, Turki maupun  India.[1] Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia muncul pertama sekali di Minangkabau setelah Haji Sumanik, Haji Piambang dan Haji Miskin kembali dari Makkah pada tahun 1803. Kepulangan mereka dari tanah suci membawa perubahan yang besar terhadap pola pikir masyarakat Minangkabau. Pembaharuan yang mereka gerakkan terinspirasi dari gerakan pemurnian agama yang dilakukan oleh kaum salafi di bawah pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab di Makkah yang berusaha mengembalikan dasar beragama kepada Al-Qur’an dan hadits. Namun pembaharuan yang digerakkan oleh tiga tokoh tersebut masih bersifat umum belum menyentuh aspek pendidikan Islam.[2]

Pembaharuan pendidikan Islam muncul seiring dengan munculnya sekolah Belanda di Indonesia. Kehadiran sekolah Belanda yang menggunakan sistem pendidikan modern  hanya diperuntukkan untuk golongan masyarakat menengah-atas. Hal ini tentunya merupakan bentuk diskriminasi pendidikan terhadap masyarakat kelas bawah, yang merupakan kelompok terbanyak dalam stratifikasi masyarakat Indonesia.[3] Kondisi ini menantang sebagian tokoh pendidikan Islam Indonesia untuk mendirikan lembaga pendidikan modern dengan tujuan mengembangkan model pendidikan yang sama dengan model sekolah Belanda namun  mempunyai corak khas Islam. Maka sejak saat itu wajah pendidikan Islam di Indonesia mulai warnai dengan kehadiran berbagai lembaga pendidikan modern yang menjadi tanda munculnya pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.[4]

Lembaga pendidikan Islam pertama yang muncul sebagai motor penggerak pembaharuan pendidikan Islam adalah Sekolah Al-Adabiyah. Sekolah ini didirikan di Padang pada tahun 1899 M. Lembaga pendidikan ini menerapkan sistem pendidikan modern, di mana dalam proses belajar mengajar sudah menggunakan kelas, bangku dan sarana pendukung lainya.[5]Akan tetapi lembaga pendidikan  ini tidak bisa bertahan dengan identitas keislamannya karena diakuisisi oleh Belanda dan namanya diubah menjadi Holland Maleische School Adabiyah.  Manajemen lembaga pendidikan ini juga diambil sehingga memberi pengaruh terhadap penerapan kurikulum. Agama yang pada awalnya merupakan inti dari pembelajaran ini dihapus dan digantikan dengan kurikulum model Belanda.[6] Walaupun berubah kehadiran Al-Adabiyah yang dipelopori oleh Abdullah Ahmad ini memicu lahirnya lembaga pendidikan Islam lainnya di Sumatera Barat. Seperti Sekolah Diniyah di Padang Panjang yang didirikan oleh Zainuddin Labai el Yunusi dan  Sekolah Diniyah di Batusangkar yang didirikan oleh Muhammad Umar Thaib.[7]

Selain di Sumatera Barat pembaharuan pendidikan Islam juga terjadi di pulau Jawa. K.H. Hasyim Asy’ari seorang ulama terkenal yang baru pulang dari Makkah mendirikan sebuah pesantren bernama Tebuireng yang terletak di Desa Cukir Kabupaten Diweh sekitar tujuh kilometer bagian selatan Jombang. Pesantren ini berdiri pada tahun 1899. Pesantren ini berkembang menjadi salah satu dari empat pesantren terkenal di Jombang bahkan menjadi salah satu pesantren yang sangat terkenal di Indonesia.[8]  Hasyim Asy’ari mengubah sistem pendidikan di pesantren dari sistem klasik sorogan dan bandongan,[9] menjadi sistem madrasah.  Madrasah di Pesantren  Tebuireng dibagi menjadi dua level yaitu: pra madrasah dan madrasah. Dalam perkembangan selanjutnya  Pesantren Tebuireng mencanangkan  program pendidikan modern, yang tidak hanya membuka jurusan agama tetapi juga mengajarkan bidang study umum. Pesantren ini juga mempunyai lembaga pendidikan penting lainnya yaitu Institut Keislaman Hasyim Asy’ari.[10] 

 Dalam konteks pemikiran pembaharuan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari merupakan seorang “model”. Hal ini disebabkan oleh antusiasme ulama di pulau Jawa mengikuti konsep dan gagasan yang ditawarkan. Ulama lain segera mengadopsi dan menerapkan sistem pedidikan madrasah di pesantren yang mereka  asuh manakala Tebuireng melakukan hal itu.[11]Hal ini memungkinkan terjadi karena Pesantren Tebuireng dapat dikatakan sebagai kiblat pesantren di Pulau Jawa. Menjadi rujukan dalam tradisi, model lembaga pendidikan tradisional.[12] Namun modernisasi di Tebuireng ditentang oleh sebagian golongan bahkan –dalam bingkai pesantren-gagasan pembaharuan  dianggap terlalu berbahaya sehingga ada beberapa orang tua santri yang menarik anaknya dari pesantren.[13]

Pembaharuan pendidikan Islam yang dicetuskan oleh K.H. Hasyim Asya’ri sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh berupa ajakan terhadap umat Islam melepaskan diri dari kejumudan. Selain itu aliran Wahabi juga ikut “menyentuh” pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari karena pada saat ia belajar di Makkah ajaran puritan sedang berkembang dengan pesat.[14] Pembaharuan  yang digerakkan oleh K.H Hasyim Asy’ari bertujuan mencetak para santri selaku peserta didik menjadi ulama intelektual, yaitu ulama yang mampu menguasai pengetahuan sekuler (baca: umum) dan para  intelektual ulama yaitu: para sarjana yang mempelajari pengetahuan dan persoalan keislaman.[15]

Selain K.H. Hasyim Asy’ari, pembaharuan pendidikan Islam juga dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan.  Sebelum membentuk organisasi Muhammadiyah ia pernah menjadi pengurus tetap Budi Utomo sebuah organisasi yang bersifat nasionalis. Selain itu ia juga pernah menjadi anggota Jamiat Al-Khair, sebuah organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan. Kiprahnya dalam kedua organisasi ini membentuk karakter   Ahmad Dahlan sebagai sosok yang peduli dengan kondisi masyarakat. Kedua organisasi ini juga memberi pengaruh kepadanya untuk mendirikan organisasi dan sekolah modern di kemudian hari.[16]Selain dipengaruhi oleh visi dan misi kedua organisasi tersebut pemikiran Ahmad Dahlan juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran ulama Timur Tengah. Ia belajar pada Ahmad Sorkati, Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin Al-Afghani Muhammad Abduh Ibnu Taimiyah dan Rasyid Rida.[17] 



[1]Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 172.

[2]Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 108.

[3]Maswardi, ”Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara Pada Masa Awal Sampai Sebelum Kemerdekaan: Kasus Kebijakan Politik Kolonia Belanda Terhadap Gerakan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Sejarah Pendidikan Islam, ed. Samsul Nizar (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 299.

[4]Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos, 1999), hal. 87.

[5]Hassan Shadily dkk, Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Karnisius, 1973), hal. 4. Mahmud Yunus memberi keterangan berbeda mengenai tahun berdirinya Al-Adabiyah. Ia mengatakan bahwa Al-Adabiyah berdiri tahun 1909. Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1971), hal. 63.

[6]Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia (Jakarta: Mizan Publika, 2012) , hal. 302.

[7]Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan:..., hal. 302.

[8]Charlene Tan, Islamic Education and Indictrination the Case in Indonesia (New York: Rautledge, 2011), hal. 96.

[9]Sorogan adalah pengajaran di pesantren yang ditempuh santri dengan belajar secara individual di hadapan kiai. Sedangkan Bandongan adalah cara belajar santri secara kolektif di hadapan seorang kiai. Lihat Ahmad Zuhro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hal. 26.

[10]Endang Turmudi, Struggling For The Umma: Changing Leadership Roles of Kiai In Jombang East Java (Australia: Anu E Press, 2006), hal. 36.

[11]Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke 20 (Jakarta : Kencana, 2012), hal. 176.

[12]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 100. Lihat juga Charlene Tan, Reforms in Islamic Education: International Perspectives (USA: Bloomsbury, 2014), hal. 61. Lihat juga  Azyumardi Azra, Afrianty, dan Hefner, “Pesantren and Madrasah: Muslim Schools and Nationals Ideals in Indonesia” dalam Schooling Islam: The Culture and Politics of Modern Muslim Education, ed. Robert W. Hefner dan Muhammad Qasim Zaman (New Jersey: Princeton University Press, 2007),  hal. 185.

[13]Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga, 2009), hal. 78.

[14]Endang Turmudi, “Pendidikan Islam Setelah Seabad Kebangkitan Nasional, dalam: Masyarakat Indonesia, No 2 Jilid XXXIV, 2008, hal. 73.

[15]Jajat Burhanuddin, Ulama Kekuasaan Pergumulan..., hal. 369.

[16]Syarifuddin Jurdi, ed., 1 Abad Muhammadiyah; Gagasan Pembaharuan Sosial Keagamaan (Jakarta: Kompas, 2010), hal. 21.   

[17]Zuly Qodir, Muhammadiyah Studies: Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Abad ke Dua (Yogyakarta: Karnisius, 2010), hal. 15. Sebagian penulis menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan tidak pernah belajar di Timur Tengah atau belajar secara langsung kepada tokoh tersebut. Gagasan pembaharuan muncul dalam dirinya setelah belajar kepada Syeikh Taher Jalaluddin. Lihat Darul Aqsha,   K.H. Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran  (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 9.

Post a Comment for " Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia"