Peta Pembaharuan Pendidikan Islam
Peta Pembaharuan Pendidikan Islam
Pembaharuan pendidikan Islam berangkat dari kekalahan
umat Islam ketika berhadapan dengan bangsa Eropa. Pembaharuan di Mesir terjadi
ketika negara ini telah dikuasai oleh Napoleon Bonaparte dari Prancis pada
tahun 1798. Sebelum Napoleon
menginvasi Mesir, ia menugaskan ahli matematika
terkenal Gaspard Monge untuk mengumpulkan ilmuwan-ilmuwan terbaik dengan tujuan menemani ekspedisinya. Seratus enam puluh tujuh ilmuwan bergabung dalam misi itu termasuk ahli matematika
Jean Baptiste Joseph Faurier, ahli kimia Claud Louis Berthollet, ahli ilmu alam Étienne Geoffroy Saint-Hilaire,
ahli geologi Deodat de Dolomieu, ahli
Geografi Edme Francois Jomard dan Nicolas-Jacques Conte. Ilmuan-ilmuan tersebut dipersiapkan untuk membentuk sebuah lembaga
riset di Mesir.[1]
Di Kairo Napoleon Bonapater mendirikan French
Institute of Egypt. Lembaga ini bertujuan sebagai pusat penelitian
arkeologi dan egyptological. Tim peneliti dari lembaga
ini melakukan penggalian terhadap
berbagai situs dan berusaha
menemukan berbagai
peninggalan purbakala bernilai
di Mesir seperti
Rosetta Stone yang
ditemukan ketika
proses pembangunan benteng
pertahananan
di delta sungai Nil. Batu ini menjadi petunjuk penting untuk mengungkap
informasi yang terdapat dalam hieroglyphs.[2] Selain itu institut ini juga membuat
perbandingan skala
pengukuran berat dan panjang yang digunakan Mesir dan Perancis, melakukan study di kebun anggur
dan kurma, mensurvei gerakan air bawah
tanah,
sistem pengairan serta mempelajari
sistem pengairan di kanal kuno penghubung Laut Merah dan Mediterania, yang menjadi ispirasi pembangunan Terusan
Suez. Selain itu mereka
membangun kebun percobaan, pustaka dan museum yang terbuka untuk umum. Napoleon
mengajukan beberapa permasalahan kepada para peneliti untuk mendorong mereka
melakukan penelitian
lebih lanjut, seperti dapatkan air
sungai Nil dimurnikan?.[3]
Kegiatan ilmuwan Perancis di Mesir juga digambarkan
oleh Nicole. Ia menulis:
Natural scientists were able both
to collect specimens from the field and without
travelling far, then to dissect or prepare and to analyse their speciments in
the cabinet. And, moreover, as they explored the oriental field, like Bauding
and his men, they entered into exchanges with merchats, fishermen and other
local people in order to augment their collections.The processes of collecting
and studying were indeed facilitated by the particular circumstances of this
space; however, producing original knowledge proved difficult.[4]
Kegiatan para ilmuwan dan hasil penelitian yang mereka
publikasikan
melalui eksebisi membuka
mata masyarakat Mesir. Hal ini mendorong Muhammad Ali Pasya untuk
melakukan pembaharuan pendidikan dengan mendirikan
lembaga pendidikan dengan berbagai jurusan seperti : tehnik, militer, farmasi,
pertanian, pertambangan. Selain itu ia juga mengirim siswa untuk menuntut
ilmu ke berbagai
negara di Eropa.[5] Pembaharuan ini berlanjut pada
masa At-Tahtawi
dan puncaknya terjadi pada masa Muhammad Abduh menjadi rektor Universitas
Al-Azhar. Ia melakukan serangkaian perubahan ditubuh Al-Azhar. Hal mendasar
yang dilakukan adalah memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum
pendidikan, mengubah sistem pengajaran dengan tujuan supaya semua mahasiswa
mendapat pencerahan dan nuansa baru dalam lalu lintas kajian keilmuan. Hal ini
sangat penting karena Universitas Al-Azhar adalah salah satu kiblat pendidikan
dunia Islam.
Di Turki pembaharuan pemikiran terjadi setelah kekalahan yang dialami Turki Usmani ketika mengahadapi bangsa Eropa. Perlengkapan militer yang dimiliki Turki Usmani jauh tertinggal dibandingkan persenjataan yang dimiliki bangsa Eropa. Hal ini mendorong penguasa Turki Usmani untuk mengubah sistem persenjataan dan melatih tentaranya menggunakan taktik, strategi dan peralatan perang modern. Turki Usmani mengundang Comte de Bonneval- seorang perwira Perancis yang masuk Islam dan menggantikan namanya menjadi Osman Ahmedt- untuk mengabdi kepada Turki Usmani. Ia ditugaskan oleh Sultan Mahmud I untuk melatih Pasukan Turki usmani dari satuan Humbaraci (Arteleri).[6]
Dalam bidang pendidikan pemerintah Turki dalam hal ini Sultan Mahmud II mendidirikan beberapa sekolah seperti Mekteb-i Maarif-i Adliye (Sekola Guru) dan sekolah Mekteb-i Maarif-Edebiye (School of Literary Education) yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu seperti bahasa Arab dan Perancis, geografi, sejarah, ilmu politik dan matematika. Selain itu pemerintah juga mendirikan Mekteb-i Irfany (Sekolah keilmuan). Mahmud juga membuka kembali dan mengembangkan Sekolah Tehnik seperti The Naval Enginering School (Muhendishane-i Bahri-i Humayun) dan Army Engineering School (Muhendishane-behri Humayun). Kedua lembaga ini bertahan sampai abad 19. Selain itu Mahmud juga mengirim pemuda-pemuda untuk melanjutkan pendidikan di berbagai negara Eropa untuk melahirkan komunitas intelektual di Turki.[7]
Selain itu
pembaharuan pendidikan
di Turki dilakukan dengan cara membuka percetakan, untuk mencetak buku-buku
yang berhubungan dengan kedokteran, astronomi, ilmu pasti, sejarah dan lainnya.
Ibrahim Mutafarrika-warga berkebangsaan Hungaria yang bertugas sebagai diplomat
di Turki-berada di balik keberhasilan ini. Mutaffarika mampu beradaptasi dengan
budaya Turki secara cepat dan menulis berbagai artikel yang berisi masalah
agama yang bertujuan membela Islam dan memaparkan kesalahan Paus serta dokrin trinitas.[8]
Di India pembaharuan pemikiran
Islam dicetuskan Gerakan
Aligarh. Organisasi ini
digagas oleh Syed Ahmad Khan, seorang
pemikir yang telah membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan modern.
Organisasi ini
menjelma menjadi
motor penggerak utama pembaharuan dalam masyarakat muslim India. Gerakan ini
pula yang mengubah status umat Islam dari masyarakat yang terbelakang menjadi
masyarakat maju. Gerakan Aligarh berhasil mendirikan MAOC (Muhammmedan Anglo Oriental College).[9] MAOC dirancang untuk melakukan rekonsiliasi pembelajaran
barat modern dan memberi beasiswa kepada pelajar Islam. Menjadi lembaga
pendidikan Islam terkemuka utara India dan mendidik para pendiri liga muslim
serta negara Pakistan.[10]
[1]Graham Hanoock dan
Robert Baouval, The Master Game: Unmasking the Secret Rulers of the World
(New York: Disiformation, 2011 ), hal. 241.
[2]Kathryn A. Bard, An
Introduction to the Archaeology of Ancient Egypt (Chichester: Blackwell Publishing, 2015), hal. 4.
[3]Daniel J Boorstin, Author of The Creators The Discoverers: A History of Man’s Search to Know His World and Himself (New York: Random House, 1985), hal. 546.
[4]Nicole Starbuck,
Baudin, Napoleon and the Exploration of Australia (New York; Routledge,
2013), hal. 105.
[5]Harun Nasution, Islam Di Tinjau Dari Segala Aspeknya (Jakarta: UI
Pers, 1991), hal. 34.
[6]Jane Taylor, Imperial
Istanbul: A Traveller’s Guide: Includes Iznik, Bursa and Edirne (New York: Touris Parke Paperbackts, 2007), hal. 214. dan
Can Erimtan, Ottomans Looking West?: The Origin of the Tulip Age and its
Development in Modern Turkey (New York: TAS, 2008),
hal. 34.
[7]Stanford J. Shaw
dan Ezel Kural Shaw, History of the Ottoman Empire and Modern Turkey: Volume
2, Reform (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), hal. 48.
[8]Cengiz Sisman, The
Burder of Silence: Sabbatain Sevi and Evolution of the Ottoman-Turkish Donmes (Oxford: Oxford University
Press, 2015),
hal. 80.
[9]Tanweer Fazal, Minority Nationalisms in South Asia (New York: Routledge, 2013), hal. 94.
[10]John Bowman, Columbia
Chronologies of Asian...,
hal.
350.
Post a Comment for " Peta Pembaharuan Pendidikan Islam "