Latar Belakang Munculnya Pembaharuan Pendidikan Islam
Latar Belakang Munculnya Pembaharuan Pendidikan Islam
Setelah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sulaiman I, Turki Usmani-kesultanan yang masih bertahan hingga awal XX-mulai menapaki lereng-lereng kemunduran.[1] Kemunduran ini memberi pengaruh besar terhadap kondisi umat Islam karena sejak Salim I, Turki Usmani - secara politik-merupakan pemengang mahkota khalifah islamiyah, pelindung umat Islam dan menjadi ikon utama kekuatan Islam yang masih disegani di Eropa karena menguasai wilayah-wilayah strategis yang terbentang dari Laut Mediterania di bagian barat dan Azerbaijan-Georgia di Timur.[2] Kemunduran ini juga ikut mempengaruhi tradisi intelektual Islam. Karena berdasarkan pengalaman, kekuasaan yang kuat akan mempengaruhi kemajuan ilmu pengetahuan dan menyokong berkembangnya berbagai institusi pendidikan.[3]
Sebenarnya jatuhnya bintang “golden age”– yang ditandai dengan tradisi intelektual tinggi - di dunia Islam sudah dimulai sejak Hulagu Khan menginvasi Baghdad pertengahan abad 13, di mana bangsa Mongol membumi hanguskan naskah-naskah ilmu pengetahuan yang terdapat di Baitul Hikmah dan memporak-porandakan situs-situs kejayaan Islam di setiap sudut Baghdad. Namun kekuatan Islam di Andalusia masih bisa mempertahankan semangat keilmuaan di dunia Islam. Semenanjung Iberia mampu mengisi relung kosong khazanah keilmuan di dunia Islam dengan ilmuan dan karya mereka, walaupun bintang biduk di cakrawala intelektual Andalusia tidak seterang Kejora di dua sisi sungai Tigris-Eufrat yang telah muncul pada abad VIII M.[4]
Selain faktor kekuasaan atau khilafah kemunduran umat Islam juga disebabkan oleh adanya pernyataan bahwa pintu ijtihad telah ditutup yang muncul pada abad XVI.[5] Padahal dunia Islam dan para ulama tidak terlalu familiar dengan pernyataan itu dan tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan dan siapa yang menutup pintu ijtihad tersebut.[6] Sungguhpun ada maka hal itu hanya metode untuk memproteksi ijtihad destruktif yang dilakukan oleh sebagian kalangan yang tidak memenuhi kriteria seorang mujtahid.[7] Menghalangi munculnya membahasan ulang terhadap permasalahah pokok dalam Islam yang sebenarnya tidak boleh diperdebatkan serta menghambat perdebatan-perdebatan dalam masalah aqidah dengan menggunakan akal semata-mata.[8]
Secara logika ditutupnya pintu ijtihad hanya berpengaruh kuat terhadap kajian hukum Islam atau fikih. Namun perdebatan di ranah fikih telah digunakan untuk memusnahkan tradisi intelektual Islam sehingga kelesuan dapat ditemukan dalam seluruh tradisi keilmuan. Dengan kata lain fikih disalahgunakan oleh pemikir ekstrim, untuk “membunuh” semangat intelaktual.[9] Akibatnya teologi, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak menarik untuk dikaji dan dikembangkan. Ilmu pengetahuan hanya berkembang dalam bentuk syarah terhadap karya lama. Umat Islam tidak kreatif dalam menciptakan hal baru karena merasa cukup dengan sesuatu yang ada pada saat itu, padahal kondisi masyarakat telah berubah.[10]
Lemahnya semangat intelektual ini menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran dalam semua aspek kehidupan. Rahman sebagai mana dikutip oleh Saeed menyebutkan bahwa alasan utama kemunduran umat Islam terletak pada permasalahan warisan intelektual Islam, bukan disebabkan oleh faktor penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat yang terjadi pada abad VIII dan sesudahnya.[11] Kemunduran umat Islam yang disebabkan oleh permasalahan intelektual di atas dianggap sebagai sebuah masalah yang menimbulkan ketidakpuasan pada sebagian kalangan. Hal ini menjadi pemicu munculnya semangat kebangkitan Islam, pembaharuan Islam atau semangat perubahan ke arah yang lebih baik.[12] Pembaharuan dipandang sebagai sebuah keharusan dan kebutuhan untuk mengatasi kegagalan sebuah sistem yang selama ini ditemukan di tengah-tengah masyarakat. Merestorasi sebuah sistem yang tidak mampu memperbaiki keadaan masyarakat atau tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.[13]
Kemunduran umat Islam yang kemudian melahirkan kesadaran untuk memperbaharui seperti dijelaskan di atas, juga disebabkan oleh faktor persentuhan umat Islam dengan budaya asing. Pada saat umat Islam mengalami kemunduran, Eropa bangkit untuk menggapai kemajuan dengan berbagai peristiwa seperti Renaisance dan Aufklarung yang memicu revolusi industri. Mereka menginvasi negara Islam dengan menyertakan berbagai fasilitas dan peralatan yang diciptakan. Hal ini menimbulkan rasa kagum terhadap kemajuan Eropa, dan melahirkan kesadaran bahwa umat Islam sudah jauh tertinggal. Para pemikir muslim, terutama yang mempunyai pemahaman luas terhadap kemajuan Eropa merupakan kelompok pertama yang menyadari kondisi ini.[14]
Proses pembaharuan Islam baik dalam bidang politik, sosial maupun bidang lainnya harus dimulai dari dunia pendidikan. Rahman sebagaimana dikutip oleh Sharon menyebutkan bahwa pembaharuan Islam harus dimulai dari dunia pendidikan: reformasi pendidikan merupakan satu-satunya solusi jangka panjang untuk menyelesaikan permasalahan umat Islam saat ini. Sebelum hal ini dilakukan maka umat Islam harus menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar pengembangan teologi-filsafat, etika, hukum dan ilmu sosial.[15] Reformis modern juga beranggapan bahwa institusi pendidikan adalah saluran pembaharuan Islam yang di dalamnya terdapat rancangan besar mereformasi kehidupan sosial dan politik masyarakat. Pendidikan sangat krusial dalam aspek reformasi ideologi karena pendidikan merupakan sebuah rancangan intrumen penting terhadap sebuah perubahan.[16] Melalui pendidikan masyarakat dapat menanamkan nilai-nilai kehidupan. Sebagai tempat melahirkan generasi yang lebih baik sebagaimana diharapkan.[17]Dilihat dari sudut nilai agama sistem pendidikan memainkan peran utama sebagai sarana menyebarkan identitas dan kepribadian Islam di antara penganut agama.[18]
Sebagai saluran pembaharuan Islam pendidikan harus ditranformasikan ke arah mengembangkan nilai-nilai dasar kehidupan manusia, yaitu kebaikan dan kejujuran.[19] Pembaharuan pendidikan ini dimulai ketika pendidikan tidak mencapai tujuan, yang tujuan ini berbanding lurus dengan tujuan hidup masyarakat. Pembaharuan pendidikan membutuhkan pemahaman terhadap target yang ingin dicapai, baik tujuan filosofis dan fungsional.[20]Pembaharuan pendidikan secara alami dilakukan dengan menggantikan satu praktik atau cara berpikir dengan yang lain. Menempatkan konsep baru karena konsep lama tidak sesuai dengan perkembangan zaman, tidak efesien dan mengalami kelumpuhan.[21]
[1]Tolan, Veinstein
dan Laurens, Europe et I’islam, terj. Jane Marie
Todd, Europe and Islamic World: A History (New Jersey: Princeton
University Press, 2013), hal. 112.
[2]Sabri Ates, The Ottoman-Iranian Borderlands; Making a
Boundary, 1843-1914 (London:
Cambridge University Press, 2013), hal. 13.
[3]IBP, “Muslim Intellectual Deline”, dalam Islam Invesment Laws in Muslim
Countries Handbook (Washinton: IBP, 2015),
hal. 38.
[4]Charles A. Fraee, World History: Volume One: Ancient and Medieval Times
to A.D. 1500 (New York: Barron’s Educational Series, 1997), hal. 395.
[5]Alejandro Garcia
Sanjuan, Till God Inherits the Earth; Islamic Pious Endowments in al-Andalus
(9-15th Centuries)
(Leiden-Boston: Brill, 2007), hal. 46.
Pendapat lain mengatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup pada abad IX.
Lihat Norman O. Brown, The Challenge of Islam: The Prophetic Tradition
(California: New Pacific Press, 2009), hal. 73.
[6]Tamara Sonn, Interpreting
Islam: Bandali Jawi’s Islamic Intellectual History (New York: Oxford
University Press, 1996), hal. 183.
[7]Saim Kayadibi, Istihsan:
The Docrine of Juristic Preference in Islamic Law (Selangor: Islamic Book
Trust, 2010), hal. 73-74.
[8]S.M. Zafar, “Accountabilty, Parliament, dan Ijtihad” dalam Charles Kurzman,
ed., Liberal Islam (New York: Oxford University Press, 1998),
hal. 70.
[9]Joseph E.B.
Lumbard, “ The Decline of Knowledge and the Rise of Ideology in the Modern
Islamic World” dalam Islam, Fundamentalism, and the Betray of Tradition, ed. Joseph
E.B. Lumbard (Indiana: Wisdom World, 2009),
hal. 41.
[10]Graham E. Fuller, The
Future of Political Islam (New York: Palgrave Macmillan, 2004), hal. 5.
[11]Abdullah Saeed
“Fazlur Rahman: a Framework for Interpreting the Ethico - Legal Content of the
Qur’an” dalam Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, ed. Suha Taji-Farouki (New York: Oxford University Press, 2004),
hal. 40.
[12]Deina Abdelkader,
“Modernity, Islam and Religious Activism” dalam Religion, Education and
Governance in the Middle East Between Traditional Modernity, ed. Sai Felicia Krishna
dan Hensel (New York: Routledge, 2012), hal. 37.
[13]Kate Stanley dan
Dominic Maxwell, Fit for Purpose: The
Reform of Incapacity Benefit (London: IPPR, 2004), hal. 10.
[14]Charles Homer Haskins, The Renaissance: of the Twelfth Century (USA:
Harvard University Press, 1927), hal. 303.
[15]Muqtedar Khan and
Marvin Whitaker, “Islamic Reformers in North America” dalam Religious
Leadership Vol I, ed. Sharon
Henderson
Callahan (London: SAGE Publication,
2013), hal. 738.
[16]Malika
Zegha, “The Multiple Faces of Islamic Education in a Secular Age” dalam Islam
in the Modern Word, ed. Jeffrey T. Kenney and Ebrahim Moosa (New York: Routledge, 2014), hal. 130.
[17]Elisabeth
Jackson and Bahrissalim, ”Crafting a New Democrasi: Civic Education in
Indonesian Islamic University”, dalam Muslim Education in the 21st Century:
Asian Perspectives, ed. Sa’edah
Buang dan Phyllis Ghim-Lian Chew (New York: Routledge, 2014), hal. 118.
[18]Nagwa M.
Magahed, “A Cultural Overview of Islam and Education” dalam Handbook of
Asian Education; A Cultural Pespective, ed. Yong Zhao (New York: Routledge, 2011), hal. 320-321.
[19]Isaac
Prilleltensky, “Education as Transformation: Why and How”, dalam Psychology
in Education: Critical Theory-Practice, ed. Tim Corcoran
(Melbourne: Victoria University, 2014), hal. 17.
[20]Raymond A.
Horn Jr, Understanding Educational Reform, (Oxford: ABC-CLIO, 2002) hal. 12.
[21]Dauglas J.
Simpson dan Michael J. B. Jackson, Educational
Reform: A Deweyan Perspective (USA: Garland Publishing, 1997), hal. 6..
Post a Comment for "Latar Belakang Munculnya Pembaharuan Pendidikan Islam"