Muhammad Abduh: Pembaharuan Pendidikan Islam
Muhammad Abduh:
Muhammad Abduh adalah seorang ahli
teologi dan pendiri sekolah modern di Mesir.[1] Ia dilahirkan di desa Mahlat Nasr bagian
dari kota Shubrakhit di Buhayra delta Sungai Nil. Keluarganya terkenal dengan
tradisi keagamaan dan keilmuan yang kuat, sehingga pada usia tujuh tahun ia
sudah mulai belajar dan menghafal Al-Qur’an. Pada tahun 1862 ia mulai menuntut ilmu di Mesjid Ahmadi di Tanta, namun ia tidak terlalu tertarik dengan metode
pendidikan yang diterapkan oleh syaikh di mesjid tersebut, sehingga ia kembali
ke kampungnya. Ayahnya kembali mengirim Muhammad Abduh untuk belajar pada Darwish Khadhr. Darwish menjadi
sosok yang mampu memberi
pencerahan kepadanya.[2]
Abduh melanjutkan pendidikannya ke Universitas Al-Azhar. Pada saat itu konsep pan islamisme yang digagas oleh Jamaluddin Al-Afghani mulai mempengaruhi masyarakat Mesir. Abduh memberi perhatian serius terhadap gerakan ini dengan mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah yang dihadiri dan diisi oleh Afghani. Dalam perjalanan selanjutnya dunia politik mempengaruhi jiwanya, sehingga terlibat dalam revolusi Urabi Pasha. Keterlibatan dalam revolusi menyebabkan Abduh diasingkan selama 6 ke kota Paris.[3] Di Kota ini ia melanjutkan perjuangan dengan menulis gagasan dan ide dalam bentuk artikel dan jurnal ilmiah. Bersama Jamaluddin Al-Afghani ia mempublikasi berbagai artikel yang mengandung pemikiran pembaharuan sosial dan politik. Ia menerbitkan surat kabar rahasia yang menyampaikan pesan tentang reformasi Islam dan semangat anti penjajahan.[4]
Kehidupan di Eropa membawa pengaruh mendalam terhadap pola pemikiran Muhammad Abduh. Ia mulai menggagas berbagai perubahan setelah kembali dari pengasingan. Abduh mulai merumuskan faktor penyebab kemunduran dan keterbelakangan umat Islam serta ide-ide untuk memperbaiki kedua itu. Menurut Abduh permasalah mendasar sehingga umat Islam mengalami kemunduran adalah andanya jurang pemisah antara pemikiran dan kepercayaan. Ia berpendapat bahwa sebuah konsep harus berlandaskan kepada keimanan bukan pada pemikiran sekuler.[5] Abduh meyakini bahwa klaim kebenaran agama dan ilmu pengetahuan bisa berjalan secara beriringan. Pandangan ini konsisten dengan usahanya untuk merekonsiliasi pertentangan yang nyata antara kesuksesan dan superioritas barat dengan ilmu pengetahuan dan kelemahan muslim Mesir, di mana umat Islam di Mesir mempunyai pandangan sempit dalam beragama. Umat Islam masih memiliki pandangan tradisional mistis seperti mengunjungi tempat-tempat suci dan mengkultuskan tokoh agama.[6]
Muhammad Abduh prihatin dengan munculnya dikotomi pendidikan di Mesir. Sekolah agama dengan sistem tradisional melahirkan lulusan yang tidak menguasai ilmu pengetahuan modern. Di sisi lain sekolah umum yang didirikan oleh penjajah tidak mencantumkan mata pelajaran agama dalam kurikulum mereka, sehingga lulusan dari sekolah ini tidak mempunyai pengetahuan agama yang baik. Idealnya sebuah lembaga harus memiliki kurikulum yang memuat mata pelajaran umum maupun mata pelajaran agama sehingga lulusannya siap bersaing dalam kancah dunia modern dan mampu mempertahankan diri mereka dengan identitas Islam.[7.
Keprihatinan Muhammad Abduh terhadap kondisi pendidikan di Mesir seperti tersebut di atas juga digambarkan oleh Betty. Ia menyebutkan:
Muhammad Abduh advocated reform of the education system in Egypt. He believed that the option avaible to Egyptians were completely unsatisfactory for the modern world. The old Quranic schools and Al-Azhar did not furnish students enough useful information about sciences of the modern world. Yet the missionary and secular states schools followed only the European model and denigrated the muslim style of life. The two system produced two different classes of Egyptian: the one resisting change and the other accepting any and all things from Europe.”[8
Muhammad Abduh mempunyai keinginan kuat untuk mereformasi sistem pendidikan Islam karena menyadari kondisi pendidikan yang tidak memuaskan, baik di negara Mesir maupun negara muslim lainnya.[9] Muhammad Abduh mencurahkan pemikirannya untuk mewujudkan hal ini walaupun mendapat perlawanan dari tokoh-tokoh sekuler di Mesir yang menyatakan bahwa agama adalah faktor yang menyebabkan sebuah masyarakat tidak bisa berkembang.[10] Ia berhasil melakukan perubahan-perubahan di tubuh Universitas Al-Azhar, walaupun awalnya ditentang oleh para pengajar di universitas tersebut. Keseriusan Abduh dalam memberikan pemahaman kepada berbagai pihak membuka hati dan pemikiran mereka sehingga mau menerima gagasan pembaharuan dan dijadikan dasar pemikiran bagi pengajar di Al-Azhar.[11]
Secara lebih rinci Muhammad Abduh menyusun master plan intruksional untuk berbagai tingkat satuan pendidikan. Menurut Abduh kurikulum pendidikan dasar harus mengandung materi ringkasan dokrin Islam, dasar-dasar moral dan etika, sejarah nabi dan sahabat serta strategi mempertahankan kekuasaan Islam. Kurikulum untuk sekolah menegah harus mengandung pengenalan terhadap ilmu pengetahuan, seni berlogika, prinsip-prinsip penalaran dan aturan berdebat. Untuk pendidikan tinggi sebuah kurikulum harus mengandung pengajaran ilmu tafsir, bahasa Arab dan linguistik, ilmu hadits, historiografi, seni berkhotbah, teologi dan pemahaman rasional terhadap doktrin.[12]
Muhammad Abduh bersedia memangku
jabatan mufti, karena ia memandang bahwa bekerja dalam sebuah sistem
merupakan cara yang efektif untuk melakukan perubahan dan memperbaiki sistem
itu sendiri secara perlahan. Ia
percaya bahwa untuk mencapai kemenangan umat Islam harus menciptakan pemerintahan yang ideal sebagaimana dicontohkan
Rasulullah. Artinya
masyarakat tidak akan berubah bila tidak didukung oleh kebijakan negara dan
pemerintah.
Sebagai mufti, pemikiran Abduh
memberi pengaruh yang sangat luas terhadap kehidupan umat Islam di seluruh dunia.[13]
[1]Sami A. Hanna dan George H. Gardner,
Arab Socialism (Leiden: E. J. Brill, 1969), hal. 205.
[2]I.M.N Al-Jubouri,
Islamic Thought: from Muhammed to
September 11, 2001
(USA: Xlibris, 2010), hal. 274.
[3]Christian D. Von
Dehsen, Lives & Legacies: an Encyclopedia of People Who Change the World
(Arizona: Oryx Press, 1999), hal. 3.
[4]John L. Esposito, The
Islamic Threat: Myth or Reality (New York: Oxford University Press, 1999),
hal. 55.
[5]Hunt Janin, The
Pursuit of Learning in the Islamic World, 610-2003 (North Carolina:
McFarland & Company, 2005), hal. 142.
[6]Roy Jackson, Fifty
Key Figures in Islam (New York: Routledge, 2006), hal. 174.
[7]Harold M. Cubert, The
PFLP’s Cahing Role in the Middle East (New York: Routledge, 2013), hal.
26-27.
[8]Betty S.
Anderson, A History of the Modern
Middle East: Rulers, Rebels, and Rogues (California: Stanford University
Press, 2016), hal. 144.
[9]William Montgomery,
Islamic Fundamentalism and Modernity (RLE Politicts of Islam) (New
York: Routledge, 2013 ), hal. 51.
[10]Mark Jueergensmeyer
dan Wade Clark Roof, ed., Encyclopedia of
Global Religion
(Los Angeles: SAGE Publications, 2012), hal. 3.
[11]John Obert Voll, Islam:
Continuity and Change in the Modern World (New York: Syracuse University
Press, 1994), hal. 183.
[12]Ali Rahmena, Pioneers
of Islamic Revival (London: Zed Books, 1994), hal. 52.
[13]Abubakr Asadulla,
Islam vs West: Fact or Fiction: A Brief Historical, Political, Theological,
Philosophical, and Psychological Perspective (Bloomington: Iuniverse,
2008), hal. 155.
Post a Comment for "Muhammad Abduh: Pembaharuan Pendidikan Islam"